Tradisi Wayangan dalam Acara Mapag Sri: Mempererat Persatuan dari Budaya Leluhur

Tradisi Wayangan dalam Acara Mapag Sri: Mempererat Persatuan dari Budaya Leluhur

Wayangan Mapag Sri dengan wayangan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi simbol hidup dari harmoni yang kami rawat setiap hari.

Tradisi Wayangan dalam Acara Mapag Sri: Mempererat Persatuan dari Budaya Leluhur

Di kampungku, desa Kebondanas Kecamatan Pusakajaya Kabupaten Subang, tradisi bukan sekadar ritual, melainkan wujud kebersamaan yang mendalam. Salah satu tradisi yang paling kami banggakan adalah wayangan dalam acara Mapag Sri, sebuah perayaan syukur yang dilaksanakan menjelang musim panen, atau terkadang dilakukan sebelum masa tanam padi. Tradisi ini tidak hanya menjadi penanda kedekatan masyarakat dengan alam, tetapi juga simbol kerukunan yang mengikat erat kehidupan sosial kami.

Mapag Sri berasal dari bahasa Jawa, yang berarti “menyambut Dewi Sri”. Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa, Dewi Sri dipercaya sebagai dewi kesuburan dan padi. Konon katanya, dulu sebelum Islam datang ke Nusantara, mapag Sri dilakukan dengan cara melakukan ritual penyembahan kepada Dewi Sri yang berteman tikus dan bedul. Sesaji dan persembahan akan diberikan kepada mereka dengan harapan Dewi Sri akan memberikan berkahnya sehingga panen menjadi melimpah dan tikus serta bedul yang menjadi teman Dewi Sri akan kenyang dengan sesaji tersebut sehingga tidak lagi tertarik memakan hasil panen warga.

Saat Islam hadir, konon Sunan Kalijogo menggubah tradisi tersebut dengan cara makanan tetap disajikan namun untuk dimakan bersama, bukan untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri, doa dan pengharapan diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan dibuatkan acara hiburan yakni wayangan yang menjadi media dakwah Wali Songo. Untuk namanya sendiri tetap tidak diubah. Sehingga secara umum saat ini yang diyakini oleh masyarakat ialah bahwa perayaan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, sekaligus doa agar panen berikutnya tetap diberkahi.

Acara di kampungku ini selalu melibatkan seluruh warga tanpa memandang perbedaan latar belakang. Tetua kami menceritakan bahwa tradisi ini selalu berlangsung setiap tahunnya sejak kampung kami resmi menjadi desa, yang dimekarkan dari sebelumnya bergabung dengan desa Karanganyar. Itu terjadi pada tahun 1980. Namun bukan berarti tradisi tersebut sebelumnya tidak ada. Tetap ada namun sebagai acara bagi Desa Karanganyar.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sesudah melakukan doa bersama, puncak acara Mapag Sri, digelar pagelaran wayang kulit semalam suntuk di balai desa atau lapangan terbuka. Pagelaran wayang ini tidak sekadar hiburan, melainkan medium edukasi dan pengikat kerukunan. Dalang, dengan kepiawaiannya, menceritakan kisah-kisah dari epos Mahabharata atau Ramayana yang disisipkan pesan-pesan moral, persatuan, dan kepedulian sosial.

Lakon wayang yang seringkali dihadirkan ialah “Semar Mbangun Deso”; Semar membangun desa, atau “Semar Mbangun Kayangan”; Semar membangun Kahyangan. Dalam lakon tersebut diceritakan bahwa Semar, seorang pemimpin Punakawan Pandawa, yang merepresentasikan masyarakat biasa atau wong cilik memiliki kehendak untuk membangun desa atau membangun tempat yang harmonya seperti di kahyangan. Untuk meluluskan keinginan tersebut, ia meminta kepada kelima Pandawa agar hadir di kediamannya yang ada di desa bernama Karang Tumaritis sambil membawa Layang Jimat Kalimosodo. Keinginan tersebut dihalangi oleh Dewi Durga beserta Batara Kala. Namun berkat kerukunan antara Pandawa dan Masyarakat Karang Tumaritis, halangan tersebut bisa dihindari.

Ada banyak sekali makna filosofis yang bisa diambil dari lakon tersebut. Mbangun kayangan yang dimaksud bukanlah berarti membangun istana yang megah dan bergagah-gagah. Namun diartikan sebagai membangun harmoni selayaknya di kahyangan. Ketentraman adalah tujuan utama dari upaya tersebut. Menggunakan istilah sekarang, mungkin bisa diartikan sebagai membangun peradaban manusianya, bukan sekadar membangun fisiknya. Meminta agar Pandawa hadir berarti meminta para pejabat yang disimbolkan dengan Pandawa untuk sesekali turun ke bawah, membaur bersama masyarakat kecil untuk menciptakan kelangsungan pembangunan. Membawa Layang Jimat Kalimosodo berarti senantiasa memegang teguh prinsip keislaman yang dilambangkan dengan Kalimosodo (Kalimat Syahadat) dalam segala hal. Halangan dari Batari Durga berarti dalam setiap usaha pasti akan ada halangan, namun dengan kerhasama yang baik antara pejabat yang merakyat dan masyarakat yang guyub, maka segala halangan tersebut akan bisa disingkirkan.

Sepanjang acara wayangan, dalang juga selalu terus menerus mengingatkan bahwa terwujudnya peradaban yang harmoni selayaknya kahyangan hanya akan terwujud jika masyarakat mau menyingkirkan perbedaan, tetap guyub rukun, saling menghormati dan saling asah, asih serta asuh.

Hal yang istimewa dari acara ini ialah, persiapan wayangan dilakukan secara gotong-royong. Warga kampung dari berbagai usia dan profesi bekerja bersama: ada yang mengumpulkan dana sukarela, ada yang membantu mendirikan panggung, hingga menyediakan konsumsi untuk tamu yang hadir. Semua orang terlibat, mulai dari anak-anak hingga orang tua, membuat acara ini benar-benar milik bersama.

Di kampungku, keberagaman agama dan suku tidak menjadi hambatan untuk merayakan Mapag Sri. Semua warga, tanpa memandang latar belakang, datang dan berpartisipasi. Dalam suasana wayangan, kami duduk bersama, berbagi tawa, menikmati alunan gamelan, dan menikmati suguhan tradisional seperti singkong rebus, dodol atau lemper. Kehangatan ini menjadi bukti bahwa tradisi mampu menyatukan perbedaan.

Bagi warga, tradisi ini juga menjadi sarana untuk mempererat silaturahmi. Jika ada kesalahpahaman di antara warga, Mapag Sri sering menjadi momen untuk saling memaafkan dan memperbaiki hubungan. Semangat kebersamaan yang tercipta membuat kampung kami selalu terasa damai.

Wayangan dalam Mapag Sri tidak hanya mempertahankan tradisi leluhur, tetapi juga menjadi media untuk mengenalkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Anak-anak sering kali ikut menyaksikan pagelaran hingga larut malam, mendengarkan cerita dalang, dan belajar menghargai warisan budaya mereka.

Di tengah arus modernisasi, kami berusaha menjaga tradisi ini tetap hidup. Wayangan dalam Mapag Sri mengajarkan kami bahwa kebersamaan tidak hanya soal kehadiran fisik, tetapi juga kesediaan untuk saling mendukung dan menghormati.

Mapag Sri dengan wayangan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi simbol hidup dari harmoni yang kami rawat setiap hari. Dari tradisi ini, kami belajar bahwa kerukunan adalah harta yang paling berharga, dan setiap warga memiliki peran untuk menjaganya.

(AN)