Ayat yang paling sering kita temui ketika bulan Ramadhan adalah QS. Al-Baqarah ayat 183 yang isinya kurang lebih seruan kepada orang beriman wajib berpuasa seperti orang-orang sebelumnya agar menjadi bertakwa.
Kita sering berkata iman tetapi sudahkah kita memaknai dan memahami maksud dari iman? Pernah tidak kita merasa bahwa yang kita lakukan selama ramadhan ini bukanlah berpuasa yang dikhususkan untuk orang yang beriman, Jangan-jangan puasa kita tidak lebih dari menahan makan-minum semata.
Mari kita diskusikan bersama. Saya tidak bermaksud menjadi ahli tafsir dan merasa paling unch unch dari memahami kalam Tuhan. Penulis akan mencoba berefleksi dari QS. al Baqarah-183, ayat paling hits di bulan suci. Ada 3 hal pokok yang penulis catat dalam firman Allah tersebut; iman, puasa orang-orang sebelumnya, dan takwa. Penulis tergelitik memahami maksud dari ketiganya.
Menurut penulis, poin pertama yakni iman bermakna menghubungkan lisan, hati dan perilaku untuk mempercayai. Seringkali kita mengaku beriman kepada-Nya tapi perilaku kita jauh dari cerminan itu. Barangkali perilaku kita yang nampak saleh nan beriman itu hanya sebatas dari hasrat duniawi atau pencitraan. Coba kita telusuri diri, apakah benar hati kita benar-benar beribadah atas dasar iman atau hanya formalitas beragama. Maka diwajibkan atas kita berpuasa.
Puasa menjadi titik nadi yang menghidupkan iman kita. Tidak ada ibadah yang setulus ini kepada Allah. Puasa menjadi rukun Islam yang berbeda. Ibadah yang hanya dipersembahkan untuk-Nya tanpa perlu orang lain, baik secara sah atau agar lebih cihuy. Ketika seorang memeluk Islam, diperlukan syadahat dan disaksikan sesama. Shalat walau boleh sendiri tapi dianjurkan untuk senantiasa berjamaah. Zakat dan haji tentu saja perlu orang lain. Tetapi puasa, hanya urusan Allah dan diri kita. Tidak ada yang tahu, saat wudhu kita ambil air di mulut lalu iseng kita ena’-ena’ sedikit atau kita ngabuburit dengan mie instan dalam kamar kosan.
Seseorang yang menjaga puasanya melalui lisan, hati, dan perilaku selayaknyalah berbangga karena telah memantaskan dirinya sebagai orang yang dipanggil Allah untuk melakukan ibadah yang butuh pengendalian diri yang tingkat tinggi. Kenapa tingkat tinggi? Jarang ada atau bahkan tidak ada ibadah yang melarang sesuatu yang halal, meskipun itu halal. Makan minum meski halal atau memadu kasih dengan istri kita. Bukankah kita senantiasa berberat hati menahan diri untuk sesuatu yang dibolehkan?
Poin pokok kedua yakni puasa orang-orang sebelumnya. Menurut penulis, potongan tekstual tersebut sebagai penanda bahwa jauh sebelum masa ini, sehingga mengindikasikan perlunya untuk menggali khasanah kearifan dalam tradisi. Dalam tradisi masyarakat pra-islam Indonesia, berpuasa bukan sesuatu yang baru, meski bukan sebagai ibadah. Puasa hanya menjadi bagian dari ritual untuk motif-motif tertentu. Mulai dari pembuatan pusaka, menguasai ilmu kebatinan tertentu, kejernihan pengambil keputusan sampai kematangan spiritual.
Misalnya tradisi masyarakat Bugis, berpuasa bertujuan mensucikan diri dengan menghilangkan pikiran duniawi sehingga terjadi kedekatan kepada ilahi. Disini sangat dibutuhkan kemampuan menahan (ma’pereng) dari segala godaan duniawi. Orang yang melakukan ma’pereng akan terlihat hebat karena kemampuannya mengendalikan diri, maka tidak heran rata-rata yang melakukan puasa akan disegani masyarakat Bugis dahulu, seperti Bissu (pendeta Bugis kuno), Raja dan pembuat pusaka.
Nilai-nilai indah itu kemudian diterjemahkan dalam Islam dalam bentuk kewajiban. Orang yang berpuasa dengan keikhlasan akan terangkat derajatnya di sisi Ilahi. Bukan hanya sebagai yang beriman, tetapi akan menuju pada ketakwaan. Inilah yang menjadi puncak dari ibadah puasa. Takwa adalah menjaga diri dari segala sesuatu hal menjauhkan kita kepada Allah. Takwa merupakan hasil dari keimanan.
Takwa tidak semata-mata karena katakutan, lebih dari itu, bahwa orang yang bertaqwa akan senantiasa mengingat Allah sehingga dia menjaga kesucian dirinya dari perbuatan tercela, sebagai mana saat berpuasa. Pada kondisi diri yang berselimut takwa, hati dan pikirannya hanya untuk Allah, bukan lagi untuk demi kepentingan, pencitraan, ataupun hal duniawi lainnya.
Puasa yang melahirkan ketakwaan dalam diri individu, tidak akan melakukan ibadah dan menjauhi laranganNya sebagai sebuah kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Sebagaimana puasa melatih kita terbiasa mengendalikan diri (ma’pereng) dari segala godaan duniawi. Sehingga secara otomatis orang yang bertaqwa akan terjadi singkron antara lisan, hati dan akhlak untuk beribadah kepada Allah.
Inilah sebaik-baik insan, kembali kepada fitrahnya, yakni hamba Allah, bukan hamba kepada nafsu duniawi. Maha benar Allah, yang merindukan kita kembali kepadaNya dengan sebaik-baiknya kembali. Wallahhu a’lam.
Saiful Haq, penulis adalah sarjana Psikologi dan pegiat aktif Gusdurian Bone.