Saya sebenarnya agak malas untuk membicarakan ini kalau kerap yang dipertentangkan budaya dan agama, apakah tradisi tomessawe/totamma (tradisi naek kuda dibulan Maulid) itu sejalan dengan ajaran Islam, ikut ajaran Nabi dan berbagai alasan lainnya. Sebab, hampir tiap tahun sorotan ini menguak ditengah masyarakat dengan alasan budaya, pertimbangan sosial hingga dalil keagamaan.
Tapi, saya ingin mengobati rasa malas itu sambil ngopi dengan melihat tiga aspek. Pertama, logika agama. Dalam tradisi tomissawe sebenarnya apa yang sedang dirayakan? Merayakan keberhasilan anak, karena ia sudah tamat ngaji al-Qur’an? Merayakan sebagai wujud cinta dan cara memeriahkan Maulid Nabi atau merayakan yang sudah biasa dilakukan orang terdahulu? Jika ini yang menjadi alasan, tak ada dalil yang bisa digunakan untuk membantah dan menganggap totamma bukan bagian dari nilai agama.
Tapi, perayaan totamma di tengah masyarakat kerap tak sejalan dengan niat awal. Mengapa? Kesan yang ditonjolkan dan menjadi pusat perhatian adalah siapa yang paling cantik, anggun dan menjadi pusat perhatian penonton/masyarakat? Bukan pada anak laki laki? Lalu untuk mengatakan bukan alasan itu, mengapa yang di depan mesti gadis remaja atau dewasa bukan anak gadis yang seumuran atau anak gadis yang baru masuk babak puber? Bukankah tradisi agama kita mendidik untuk menahan pandangan (yagudhdhu al-abshar), tak akan ada anjuran menahan pandangan, jika tak ada yang menampilkan.
Tak hanya itu, pergeseran zaman menuntun pula perubahan, rebana pun kian modern, tak seperti kala dulu kental dengan muatan shalawat, dzikir dan nasihat hidup. Jika mengatas namakan maulid Nabi apakah rebana yang digendangkan itu lantunan shalawat juga? Bukankah juga gegara “erotisme” rebana yang menjadi pemicu joget joget mabuk-mabukan dan tak jarang gesekan sosial terjadi (kasus dan lokasi tertentu)? Jika sudah demikian, ada benang yang arif dan bijak dari ulama kita dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih (menolak kerusakan dan keburukan didahulukan dari pada megambil manfaat)
Kedua, aspek kebudayaan. Tradisi totamma murni sebagai tradisi masyarakat ia berkembang dan dilestarikan karena kesepakatan dan disepakati jadilah ia tradisi dan kebudayaan. Sebab, budaya itu juga sebagai kebutuhan, hiburan dan refleksi diri. Totamma adalah kearifan lokal yang diterjemahkan dalam nilai sejarah, kebudayaan dan peradaban, Sedangkan agama sendiri tak lepas dari semangat sejarah, budaya dan peradaban. Karena itu, nilainya yang harus dijaga dan dirawat bukan euforia, perayaan dan seremonialnya belaka. Sebab, budaya yang bernilai tak akan bertentangan dengan etika sosial terlebih agama.
Khawatirnya, apa yang kita anggap budaya dan mengatas namakan budaya justru kita sendiri yang merusak nilai budaya itu sendiri, menciderai nilai sejarah dan merusak semangat peradaban. Tak ubahnya anak kecil (bayi) semua yang dia lakukan itu baik tapi tak sadar dan menyadari apa yang ia lakukan itu salah.
Ketiga, aspek kesetaran jender. Saya buta akan sejarah dan tak paham kebudayaan, tapi kerap merenung apakah tradisi totamma juga bentuk perlawanan terhadap patriarkisme (yang mengunggulkan laki-laki) atas perempuan? yang selama ini laki laki jadi dominasi atas perempuan dikehidupan sehari hari? Atau dengan kata lain, dengan menampilkan perempuan di atas kuda menari (saiyyang pattu’du) sebagai penegasan bahwa perempuan diberi ruang dan dihormati dimata budaya dan masyarakat?
Renungan saya pun terbantahkan atas renungan sendiri dan semakin ragu bahwa ini bukan soal menghargai dan menghormati perempuan ataupun perlawanan terhadap patriarkis, justru semakin menegaskan makin dominasinya laki-laki terhadap perempuan. Atas dasar apa? Kenyataannya anak perempuan itu mesti berdua sedangkan laki laki cukup satu saja. Apakah ini berarti eksistensi (keberadaan) perempuan di mata budaya dianggap sama antara satu laki-laki dengan dua perempuan? Seperti halnya, mengapa saksi dua perempuan satu laki laki karena pengakuan hukum agama dua perempuan dan satu laki-laki dianggap setara dan sama.
Terakhir, apa yang saya kemukakan bukan sebuah justifikasi untuk menghakimi dan menolak tradisi. Tapi, mengarifi tradisi agar menjadi pegangan yang menuntun. Tradisi yang baik memang perlu kita lestarikan, tapi jika itu buruk apa yang mesti dilestarikan? Kalau begitu apa bedanya dengan kaum jahiliyyah yang dulu mengancam Nabi, yang mereka anggap merusak tradisi yang sudah dijalankan nenek moyang mereka? tutur Gus Mus
Singkatnya, semua pandangan tak selamanya benar pun salah, ini bisa tak disepakati, tak diterima dan mungkin sebagian bisa diterima. Disetujui atau tidak bukan itu yang saya harapkan, saya menikmati dan menyalurkan hobi menulis sembari ngopi.