Dinamika kehidupan yang terus bergerak dan berkembang mengantarkan manusia pada pembaruan dalam arti yang seluas-luasnya seperti pembaruan kesejahteraan, maupun pembaruan problematika kehidupan. Problematika kehidupan ini pun semakin kompleks sejalan dengan kemampuan manusia untuk memperluas lingkungannya.
Mereka tidak lagi hanya dihadapkan pada bagaimana berinteraksi dengan orang satu wilayah, satu golongan, atau pun satu keyakinan, namun sebaliknya, dituntut untuk bisa menyikapi berbagai bentuk perbedaan dan keberagaman.
Alquran yang diturunkan sebagai pedoman generasi akhir masa, rupanya didesain untuk menghadapi segala bentuk pembaruan problematika saat ini. Meski tidak secara langsung menggunakan terminologi yang sama, Alquran selalu memberikan solusi bagi problematika yang muncul.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ali Imron (3) ayat 136 yang memposisikan Alquran sebagai bayan dan mau‘iẓah. Sebagai bayan Alquran dapat dimaknai sebagai sumber yang selalu menjelaskan inti apa saja yang harus dilakukan untuk menjalani hidup dengan baik.
Alquran juga berperan sebagai mauiẓah, teguran, dan nasihat yang diharapkan dapat membawa kembali siapa saja kepada jalan yang lurus.
Dalam konteks kekinian, masyarakat Muslim dihadapkan pada modernitas yang menyebabkan arus globalisasi. Sebuah tawaran tatanan masyarakat “baru” yang sejatinya bukan sebuah keniscayaan. Bagaimana tidak, globalisasi justru berusaha untuk memunahkan budaya-budaya yang lebih “lemah” dan “berbeda” dari pelopornya. Globalisasi justru banyak menimbulkan implikasi merugikan bagi individu yang tidak memiliki akses globalisasi, mereka yang tidak mengamini bentuk lain dari “kolonialisasi” modern ini.
Tipologi masyarakat modern yang cerdas menjadi salah satu titik keberuntungan bagi Islam. Mereka terbiasa untuk tidak menerima begitu saja segala bentuk informasi yang didapat. Verifikasi dan klarifikasi menjadi sebuah budaya yang akhirnya berpihak pada kemurnian Islam. Tidak sedikit masyarakat Barat yang akhirnya memeluk Islam setelah mengkaji ulang apa yang mereka dengar tentang Islam. Keuntungan kedua dari penyebaran realitas palsu tentang Islam adalah maraknya tren penggalian ulang dan reinterpretasi ayat-ayat Alquran yang menggeliatkan kembali semangat intelektual Muslim.
Baca Juga: Film Bilal bin Rabah: Antara Spiritualitas dan Semangat Pembebasan
Dari fenomena inilah, muncul berbagai bentuk kajian baru dalam Alquran, khususnya dalam bidang tafsir. Disadari atau tidak, bidang tafsir memainkan peran penting dalam ‘pembelaan’ ini. Tafsir merupakan manifestasi upaya pemahaman akan Alquran sebagai pedoman utama umat Islam. Tafsir adalah akar mula seluruh pemahaman dalam bangunan keagamaan Islam.
Pada dasarnya, isu-isu global yang digembor-gemborkan sebagai derivasi dari hak asasi manusia (HAM) bukan merupakan objek baru dalam khazanah keislaman. Pengertian HAM sebagai hak-hak yang dimiliki oleh manusia karena ia manusia, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif. Seperti yang sering kita dengar kasus persoalan toleransi beragama yang ada di Indonesia.
Toleransi beragama yang dimaksudkan dalam Islam adalah sikap saling hormat-menghormati di antara para pemeluk agama yang berbeda. Islam mengajarkan bagaimana seharusnya setiap individu bersikap atas perbedaan agamanya dengan orang lain, seperti tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain yang tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Diterangkan di dalam Marahul Labib, karya Syaikh Nawawi, ayat di atas sebagai bentuk cara menolak ajakan untuk berbagi agama. Dimulai dengan kedatangan empat orang Quraisy yaitu Al-Walid ibn al-Mughirah, al-As ibn Wail al-Asad ibn’ Abdul Muṭallib dan Umayyah ibn Khalaf yang meminta Nabi untuk menyembah sesembahan mereka dalam jangka beberapa waktu dan mereka pun berjanji akan menyembah Allah dalam jangka waktu yang sama pula. Saling bertukar agama dalam jangka tertentu tersebut ditawarkan oleh orang Quraisy kepada Nabi sebagai syarat perdamaian antara kedua belah pihak.
Baca Juga: Literasi di Pesantren: Kitab Kuning di Tengah Gelombang Digital
Syeikh Nawawi menafsirkan ayat tersebut seakan-akan berbunyi: “Dulu, aku sama sekali tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah, atau, aku tidak terbiasa menyembah berhala pada masa Jahiliyah, maka bagaimana mungkin kalian berharap aku melakukan hal itu padahal aku telah berislam. Namun, penafsiran Syeikh Nawawi ini berbeda dengan penafsiran Quraish Shihab. Dalam kitab tafsir Al-Mishbāh, Quraish Shihab memaparkan bahwa Nabi Muhammad justru menolak ajakan kaum Quraisy untuk berbagi agama dengan penolakan yang “halus”.
Kendati demikian, Islam tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran yang berbeda dalam beberapa ayat Alquran. Hal itu bukan lantaran Islam tidak konsisten dengan ajarannya, akan tetapi secara tidak langsung mengajarkan kepada umat bagaimana seharusnya mempraktikkan toleransi kepada mereka yang memiliki pemikiran yang berbeda.
*selengkapnya, klik di sini