Tingginya Biaya Pendidikan: Normal atau Overprice?

Tingginya Biaya Pendidikan: Normal atau Overprice?

Merenungkan mahalnya biaya pendidikan dengan POV Imam as-Syafii.

Tingginya Biaya Pendidikan: Normal atau Overprice?

Entah kenapa, isi keramaian media sosial hari ini tak pernah terlepas dari soal banding-membandingkan, dari mulai gaya hidup, outfit, hingga seputar isi rekening.  Bahkan belakangan ini, jagat maya diramaikan oleh keseruan membandingkan harga-harga sekolah swasta mahal dengan variasi kurikulum  yang menarik. Harga yang disajikan tampak dari uang pangkal dari rentang harga belasan hingga puluhan juta. Begitu pula dengan variasi kurikulumnya, mulai dari International Baccalaureate, Cambridge, hingga Tahfidz Internasional.

Tampaknya, tren di masyarakat mulai bergeser–dari kebanggaan menyekolahkan anak di SMP dan SMA negeri favorit–menjadi ke sekolah-sekolah dan boarding school dengan harga selangit. “Yang penting, kualitas pembelajaran dan fasilitas terpenuhi,” begitulah kira-kira argumen yang dibangun.

Meski demikian, tak sedikit juga yang tak membenarkan hal ini. Pendidikan semestinya sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat di abad ke-21, dan seharusnya harganya terjangkau.

Pergeseran paradigma ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 berkaitan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru yang berdasarkan sistem zonasi. Alhasil, sekolah-sekolah negeri unggulan yang dulunya tersaring karena prestasi dan nilai raport, kini hanya perlu mengandalkan kartu keluarga dan alamat rumah.

Mungkin kita perlu menengok ke belakang, bagaimanakah kiranya hal ini dicontohkan oleh para tabi’in dan salafusshalih di zaman terdahulu? Bagaimana mereka menyisihkan hartanya untuk menuntut ilmu, apakah penuh dengan pertimbangan berazaskan convenience atau memang diupayakan mendapatkan yang terbaik?

Mari kita ambil contoh dari kisah Imam Syafi’i. Dalam kitabnya, Imam Syafi’i bertutur,

“Aku adalah anak yatim dalam pengasuhan ibuku. Sedangkan dia tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar pengajar. Akhirnya, beliau merelakanmu untuk berdiri di belakangnya (guru) ketika ia berdiri (mengabdi kepadanya). Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Quran, aku pun masuk masjid. Aku berinteraksi dengan para ulama untuk menghafal hadits atau berdiskusi. Rumah kami berada di lembah Al-Khaif. Aku terbiasa menulis di tulang-tulang. Apabila telah terkumpul banyak, maka aku memasukkan ke dalam sebuah tembikar besar.”

Ibunda Imam Asy-Syafi’i tidak memiliki apapun untuk membiayai perjalanan anaknya ke Yaman untuk belajar dan bekerja. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggadaikan rumahnya seharga enam belas dinar, kemudian menyerahkan uang hasil penggadaian rumah tersebut kepadanya (Imam Asy-Syafi’i).

Ternyata, seorang ulama pun bersusah payah dalam menuntut ilmu, hingga menggadaikan harta bendanya dan merelakan anaknya untuk mengabdi kepada sang guru, agar anaknya dapat menuntut ilmu dengan leluasa.

Upaya serupa juga ditunjukkan oleh Anas bin Malik RA. Sang ibu memasrahkan Pputranya kepada Rasulullah SAW untuk dijadikan pembantu, asal Anas tetap berada dalam bimbingan dan pendidikan Rasulullah SAW. Kelak, Anas RA tumbuh menjadi anak yang luar biasa dan salah satu muhadis termahsyur.

Ibunda Imam Asy-Syafi’i adalah contoh ideal untuk diteladani ibu yang saleha dan berhak memperoleh apresiasi. Meskipun fakir, janda, dan terhimpit ekonomi, akan tetapi ia mengerahkan segenap kemampuan dan pengorbanannya dalam perjuangan dan memberikan pendidikan yang layak bagi putranya. Allah pun menenangkan jiwanya dengan memperlihatkan hasil dari jerih payahnya pada diri Imam yang agung ini.

Sejatinya, pendidikan itu selalu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Mari kita renungkan untaian nasihat Imam Syafi’i terkait syarat-syarat menuntut ilmu dalam kitab Ta’lim Muta’alim, yakni:

Wahai saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, yang akan aku terangkan perinciannya, yaitu kecerdasan (dzaka’un), keinginan yang kuat (hirsun), kesungguhan (ijtihadun), biaya (dirhamun), dekat dengan guru (suhbatu ustazin), dan waktu yang panjang (thulu zaman).”

M. Amin Abdullah menjelaskan lebih detil terkait biaya (dirhamun), yaitu bukan hanya perkara kelapangan materi saja, melainkan juga merupakan syarat jaminan mutu ilmu. Hal ini bisa ditinjau dari kualitas guru, dosen, atau pengajar yang menyampaikan ilmu tersebut merupakan seseorang yang faqih dan ahli dalam bidang tersebut. Sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan bahwa standar mutu sebuah pendidikan amat tergantung pada kualitas pengajarnya (yang seringkali harus dibayar mahal).

Oleh sebab itu, apabila kita hendak merutuki tingginya harga yang tercantum dalam brosur sekolah, renungkan lagi hal ini. Tentunya, sebagai orang tua ada keinginan yang kuat agar anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tentu saja kita harus lebih selektif memeriksa–apakah harga yang selangit disebabkan oleh sekolah dan yayasan yang facility-centered, seluruh pendanaan sekolah mayoritas dialokasikan untuk pembangunan dan fasilitas secara terus menerus? Ataukah dari dana yang didapatkan, bisa dikelola untuk memberikan tunjangan yang jauh di atas rata-rata UMR untuk para guru?

Terlepas dari itu semua, perlu kita meluruskan niat dan kembali menyelami makna nasihat yang disampaikan oleh Imam Syafi’i. Bagaimana pun juga, menuntut ilmu harus diniatkan dalam rangka ibadah dan bertujuan untuk memakmurkan bumi Allah swt. sebagai khalifah fil ardh.

Mudah-mudahan, para orangtua mampu memilah dan memilih pendidikan berkualitas untuk anak-anaknya. Tak lupa, semoga kesadaran mindset untuk menyiapkan dana pendidikan lebih dipersiapkan oleh para orangtua yang bertekad untuk menyongsong masa depan generasi yang lebih baik.

Wallahu’alam bishawab.

(AN)