“Tikus Gila,” ujar kakak perempuan saya dengan nada penuh kesal, karena baru-baru ini ia baru mengetahui bahwa beberapa uang hasil jualan sembakonya “dicuri” bahkan dikrikiti(bahasa Jawa) oleh beberapa tikus gila itu.
Bagi saya, ini merupakan fenomena baru yang benar-benar terbukti secara empirik—mungkin beberapa orang juga telah menemuinya—bahwa yg namanya tikus itu memang rakus. Tikus, yang bagi sebagian besar dari kita menganggapnya sebagai hewan jijik itu, memang identik dengan hal-hal buruk. Hidupnya terkungkung dalam selokan-selokan, kubangan lumpur, bahkan di tempat-tempat pembuangan sampah. Pandangan negatif terhadap hewan ini semakin paripurna ketika kita tahu sifatnya yang tidak hanya suka mencuri segala model makanan—baik yang masih segar atau yang sudah membusuk—akan tetapi, uang juga tak luput dari kerakusan mereka.
Tikus-tikus ini lebih mulia bila dibandingkan dengan tikus yang berwujud manusia (koruptor). Penggambaran Al-Qur’an dalam ayat terakhir surat an-Nas ”Minal Jinnati Wa an-nas” yakni bahwa syetan itu ada yang berupa Jin dan adapula yang berupa manusia itu begitu tepat, karena di negeri ini tidak hanya syetan yang berwujud manusia, akan tetapi gabungan dari syetan, tikus dan manusia. Bisa membayangkan seperti apa wujudnya?
Memang, bisikan-bisikan buruk selalu datang kepada kita, hanya dengan itulah kita pantas bertitel manusia. Di sisi lain, kalau kita tidak menghadapi ujian berupa bisikan buruk (baik dari jin maupun manusia), kita tak ubahnya seperti hewan yang tak punya akal. Maka, godaan bagi para pejabat negara yang paling besar adalah godaan untuk korupsi. Bagaimana mereka bisa kuat dari bisikan-bisikan ini? Alangkah baiknya bila mereka mampu untuk menghayati lagi makna maupun tafsiran surat an-Nas di atas. Sebaliknya, tidak hanya pandai dan fasih dalam membaca surat an-Nas yang tergolong pendek itu. Di sinikah, kesadaran kita diuji dan dituntut.
Kembali ke persoalan tikus, bagi saya kok agak simplistis ketika melihat setiap fenomena-fenomena kehidupan tetapi lupa untuk mengambil hikmah dari setiap tanda-tanda itu. Maka dari itulah, ayat pertama yang berbunyi “Iqro'”—yang menurut sebagian mufassir diterjemahkan dengan bagaimana cara kita untuk “membaca” fenomena kehidupan ini, tidak cuma membaca, namun disertai dengan penghayatan dan introspeksi diri.
Tikus-tikus yang menggondol uang kakak perempuan saya itu memang tak punya akal. Jadi, saya sangat maklumi itu. Mungkin juga mereka sangat kelaparan karena tidak ada makanan, akhirnya mencuri uang dan melahapnya. Namun, lagi-lagi kita dituntut untuk tidak hanya melihat setiap fenomena dari satu sisi saja. Kita tidak boleh hanya menyalahkan tikus-tikus itu, karena tikus memang memiliki takdir yang tak seindah hamster yang disediakan makanan dan tempat yang nyaman. Tikus hidup dalam kehidupan yang kelam dan kejam, karena itulah tak jarang mereka selain dicaci, mereka juga mati kelaparan bahkan terlindar motor kita disaat mereka mencari “sesuap nasi”.
Itu takdir tikus, beda lagi dengan manusia yang diberkan berbagai macam kelebihan dan kenikmatan. Lalu, apa jadinya bila kita sebagai manusia atau hayawan an-natiq (hewan yg berfikir) yang derajatnya lebih tinggi dari semua makhluk, tetapi tingkah lakunya tak ada bedanya dengan tikus yang kotor nan bau itu?
Mari tengok bagaimana perilaku tak punya malu yang dilakukan para koruptor di negeri ini. Apakah tepat bila mereka masih disebut sebagai manusia? Bagi saya, term manusia sudah tidak cocok lagi dengan mereka. Karena term itu sangat bertolak belakang dengan tabiat manusia yg pada dasarnya suka pada kesucian.
Para koruptor itu tak ayal sama bahkan lebih buruk bila dibandingkan dengan tikus-tikus tadi. Mereka harusnya tak layak berkeliaran dalam roda pemerintahan, apalagi sok bangga menamai dirinya sebagai orang sibuk yang mewakil rakyat.
Kalau mau bersikap ekstrim, harusnya penjara mereka didesain khusus seperti got-got yang kotor nan menjijikkan itu. Namun apalah daya, pemerintah masih lemah dalam menindak tikus-tikus kotor berwajah manusia ini. Alih-alih memberikan hukuman supaya mereka jera, jeruji besi yang mereka diami malah didesain khusus laiknya kamar hotel yang dipenuhi dengan AC dan kasur empuk.
Apalagi bila melihat berita baru-baru ini yang baru nge-hits, yang katanya hampir sebagian besar calon anggota DPR adalah mantan para napi. Lah, mau jadi apa negeri ini? bukannya membatasi hak asasi mereka untuk mencalonkan diri, bukan pula menegasikan kenyataan bahwa manusia bisa berubah menjadi baik, akan tetapi lebih dari itu. Sudahkan tidak ada calon yang kira-kira bersih dari daftar hitam itu? Mari tanyakan pada para petinggi negeri ini.