Generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago ada tiga orang, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Hingga kini, merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya.
Ketiga “pendekar” di atas ternyata tidak menampilkan citra yang sama dan padu seperti para alumni Universitas McGill di Montreal, Kanada. “Mafia McGill” hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersikap serba-terbuka kepada “hal-hal baru”, termasuk gagasan kerukunan antarumat beragama. Mafia itulah yang kemudian menguasai Departemen Agama sejak Profesor A. Mukti Ali menjabat menteri agama, pada tahun 1970-an.
Walaupun beberapa dedengkotnya, seperti Kafrawi, M.A., dibantai oleh Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara (1978-1983), toh secara keseluruhan mafia tersebut masih kukuh menopang kegiatan departemen itu. Hal itu terjadi karena kuatnya kohesi para anggotanya, mulai A. Mukti Ali dan Harun Nasution hingga yang baru pulang belakangan dari sana.
Itu lain halnya dengan para pendekar dari Chicago. Nurcholish Madjid berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam di puncak kejayaannya, sekitar sepuluh abad lalu: keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Proses penyergapan itu menjadikan Islam agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut umat manusia secara tidak berkeputusan. Karenanya, Nurcholish Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan.
Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari umat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholish, hanya dapat terwujud dalam lembaga politik formal Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholish: “Islam yes, partai politik (Islam) no”.
Sudah tentu pendekatan kultural Nurcholish Madjid itu bertabrakan langsung dengan pandangan Amien Rais. Wakil Ketua PP Muhammadiyah itu terkenal dengan orientasi “cara hidup Islami” yang ditumbuhkannya di kampus-kampus selama ini. Cara hidup tersebut bermula dari kesungguhan berpegang pada Islam sebagai sumber nilai-nilai yang unik.
Nilai-nilai tersebut dapat saja dikembangkan umat agama atau paham lain, tetapi sebagai sistem akan memiliki kekhasan sendiri. Menurut pandangan ini, mau tidak mau kaum muslim harus memperhatikan dunia politik, yang akan melestarikan kekhasan Islam melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Arti kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Itu lain halnya dengan pandangan Syafi’i Ma’arif, yang tidak begitu risau dengan prospek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti anggapan Amien Rais. Ia lebih dekat pada pandangan Nurcholish, yang mengutamakan aspek kultural Islam.
Tetapi, sebagai “orang organisasi”, ia juga menekankan arti penting upaya memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers).
Dengan memiliki kewenangan pemerintahan, orang-orang gerakan Islam (Islamic movements) dapat lebih jauh lagi mengembangkan Islam sebagai “budaya bangsa”. Mungkin akan lebih ngeskalau pandangan ini disemboyankan sebagai “Islam yes, politik Islam yes”.
Cukup besar perbedaan antara ketiga pandangan itu. Dan itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antara ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau “hanya” kultural. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini. Untuk itu, mereka sependapat tentang perlunya perubahan mendasar dalam pandangan hidup kaum muslim: etos dan disiplin kerja serta etika sosial mereka. Dalam merumuskan kelayakan upaya-upaya itulah terjadi “perbedaan dalam kesatuan” antara mereka bertiga.
Nurcholish, dalam kegairahan meneguk “air kehidupan” dari berbagai sumber, melontarkan “kesamaan dasar” antara Islam dan agama-agama besar lain, yang terwujud dalam nilai-nilai universal yang dimilikinya. Kontan pandangan “aneh” ini digebuk beramai-ramai oleh kalangan umat (baca: gerakan) Islam. Ridwan Saidi dan Daud Rasyid “menguliti”-nya tanpa kasihan dan menuntut agar Nurcholish “bertobat”.
Sebenarnya, kalaupun Nurcholish dapat dipersalahkan, hal itu hanya terletak pada generalisasinya atas “kesamaan” antara Islam dan agama-agama lain. Ia tidak merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang relatif, yang masih memungkinkan Islam dibedakan secara kategoris dari sudut pandang teologis.
Bagaimanapun, hal seperti itu tidak akan bisa diterima umat Islam. Ia seharusnya menyatakan bahwa secara teologis ada perbedaan esensial antara semua agama di dunia karena unikum masing-masing. Namun unikum itu harus “dikendalikan” dan “dipertalikan” dengan memberikan perlakuan dan kedudukan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum negara. Kalau ini yang dikemukakannya, tentu tak ada yang keberatan terhadap pandangan Nurcholish.
Yang menarik, kedua pendekar lainnya dari Chicago tidak membelanya dari serangan Ridwan Saidi. Itu berarti antara mereka tampaknya tidak ada hohesi kuat. Benarkah demikian?
Tulisan ini sepenuhnya diambil dari Tempo edisi 27 Maret 1993