Inilah tiga langkah agar kita terhindar dari “kebutaan beragama” di era media sosial. Kebutaan beragama kira-kira bisa ditamsilkan dengan kisah populer ini: orang dengan mata tertutup atau buta memahami gajah yang belum dikenal sebelumnya. Ada yang memegang belalai, kuping, badan, dan anggota tubuh gajah lainnya. Merekapun sangat yakin dengan apa yang dipahami, tak menerima pandangan yang lain, bahkan menyalahkan yang lain. mereka merasa hanya pandangannya yang benar.
Anehnya dalam isu-isu keagamaan, yang terpapar kebutaan ini seringkali mereka berpendidikan tinggi dan kelas profesional: bankir, arsitek, sekretaris perusahaan, mahasiswa di kampus-kampus umum.
Saya tidak mengambil kiat ini dari masa kemarin atau lusa. Saya mengambilnya dari sebuah buku dan perkataan seseorang yang hidupnya terpaut sekitar 800-an tahun dengan kita, manusia-manusia yang kalau tak punya pulsa internet seperti ikan kehabisan air.
Namanya Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, pengarang Ta’lim al-Muta’allim. Kata sebagian besar para santri, gara-gara kitab ini yang bikin mereka terbirit-birit mencium tangan kiai bolak-balik, berlomba-lomba merapikan sandal kiai sebelum akan digunakan, atau memperlakukan kitab-kitab kuning setaraf al-Quran.
Tiga langkah itu bisa disingkat “Tiga Em”: Mudzakarah, Munadzarah, Mutharahah. “M pertama” berarti sikap kita untuk membiasakan diri bertukar pandangan, mengingat-ingat informasi yang diperoleh, merenungkannya, dan membaginya dengan teman berdiskusi atau mengobrol. “M kedua” bobotnya lebih tinggi. Di sini kita sudah dapat mempertanyakan atau meragukan informasi keagamaan yang diterima.
Di sini Anda bisa mempertanyakan artikel yang dilempar di grup whatapps atau blackbery, meski diakhirnya ada perintah: “sebarkan, berpahala, demi agama kita; jika anda sebarkan ini 33 kali maka sekian pahala yang akan didapat.”
“M ketiga” bobotnya lebih “berat” lagi. Bahkan Imam Az-Zarnuji mengutip sebuah kata mutiara “mutharahah sa’atin khairn min tikrari syahrin (mutharah sesaaat lebih baik dibanding mengulang-ulang pelajaran sebulan). Di level ini kita harus mentradisikan diri untuk menguji kebenaran dari informasi yang ada dan saat bersamaan menunjukan kelemahan-kelemahan informasi dan pandangan-pandangan yang muncul.
Misalnya anda bisa menunjukan kelemahan pandangan yang hanya memaknai kata “auliya” sebagai “pemimpin politik” untuk menyimpulkan larangan memilih kepala daerah nonmuslim. Padahal, ada makna lain yang bisa dilihat seperti “teman” atau “sekutu”.
Level ketiga inilah yang mungkin bisa disebut puncak dari berpikir kritis: critical thinking. Berpikir kritis ini adalah — saya ambil criticalthinking.org — sebagai the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication, as a guide to belief and action. Silakan terjemahkan sendiri! []