Tulisan ini merupakan hasil dari catatan penulis dari pertemuan Kajian buku “Islam is Not Only for Muslim” karya ayahanda Prof. Dr. KH. Ali Musatafa Yaqub (Almarhum).
Sesuai konten salah satu buku terakhir karya ayahanda kami, tema pertama yang tertulis dalam buku tersebut adalah “The Prophet Muhammad ﷺ as A Model Leader” (Nabi Muhammad ﷺ sebagai contoh seorang pemimpin). Mengkaji tema pertama dalam buku ini, seolah mendapat siraman kesejukan di tengah dahaga masa penantian akan seorang pemimpin yang penuh keteladanan. Dari tema ini ada beberapa point penting yang patut digarisbawahi.
Ada perbedaan istilah plurality of religions (pluralitas agama) dan religious pluralism (pluralisme agama). Islam mengakui adanya pluralitas agama, namun tidak mengakui pluralisme agama.
Pertama, a leader obviously must prioritize the needs of his society over his own, seorang pemimpin hendaknya mendahulukan kepentingan masyarakatnya diatas kepentingan pribadinya. Nabi Muhammad telah mencontohkan poin pertama ini saat beliau melakukan hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar ra. dan dua orang lainnya, yaitu Amir bin Fuhairah (budak Abu Bakar) dan Abdullah bin Uraiqit al-Laitsi.
Saat di tengah perjalanan menuju Madinah, beliau berhenti di tenda seorang perempuan yang bernama Ummu Ma’bad al-Khuzaiyyah, dia adalah seorang rakyat kecil. Ummu Ma’bad tidak memiliki sedikitpun makanan ataupun minuman. Sehingga tidak bias menjamu tamunya. Kemudian Rasulullah SAW melihat seekor kambing betina di samping tenda Ummu Ma’bad, dan meminta izin kepada Ummu Ma’bad untuk memerah susu kambing tersebut.
Ummu Ma’bad menyampaikan kepada Nabi bahwa kambing betina tersbut sudah tua dan susah untuk mencari makan, sehingga tidak mungkin bisa menghasilkan susu. Namun, Ummu Ma’bad tetap mengizinkan Nabi untuk memerahnya.
Sebelum memerah, Nabi berdoa اللهم بارك لها في شاتها. Kemudian, kambing betina tersebut menghasilkan banyak air susu. Di saat seperti itu, Nabi Muhammad mempersilahkan Abu Bakar dan dua orang lainnya untuk minum terlebih dahulu.
Dan Nabi Muhammad adalah orang terakhir yang minum susu hasil perahannya, kemudian Nabi bersabda سيد القوم خادمهم وساقيهم آخرهم شربا. Hadits ini menjadi dalil bahwa kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi pada kepentingan rakyatnya.
Kedua, Guarding all elements. Mengayomi semua elemen. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kyai kami di berbagai forum, bahwa saat itu Nabi tidak hanya menjadi pemimpin bagi orang Islam saja, tapi juga pemimpin bagi seluruh orang di Jazira Arab, termasuk di dalamnya adalah golongan Kristen, yahudi, majusi, dan Pagan.
Mereka semua bisa hidup berdampingan dibawah komando pemimpin yang bijaksana. Mereka dilindungi oleh Nabi, bahkan Nabi mengatakan bahwa siapa yang membunuh kafir yang terikat perjanjian damai (kafir mu’ahad), maka ia tidak akan mencium wangi surga dari jarak 40 tahun perjalanan.
Namun, harus dipahami bahwa Islam mengakui keberadaan agama lain bukan berarti mengakui kebenaran agama lain tersebut. Dalam hal ini, Kyai kami menyebutkan perbedaan istilah plurality of religions (pluralitas agama) dan religious pluralism (pluralisme agama). Islam mengakui adanya pluralitas agama, namun tidak mengakui pluralisme agama.
Ketiga, Non-Discriminative Leadership dan The King of the peasent. Nabi menganggap sama antara rakyat kecil ataupun orang kaya. Setiap mendapat undangan dari rakyat kecil, nabi tetap hadir untuk menghormatinya.
Tiga poin tersebut semoga menjadi pelajaran bagi kita semua saat nanti kita menjadi pemimpin, baik pemimpin bagi diri kita sendiri, keluarga, atau yang lebih luas lagi. []
Izzah Farhatin Ilmi, PP Darussunnah. Aktif juga di lembaga penelitian hadis El Bukhori Institute.