Sebagaimana halnya Al-Quran, hadits juga mempunyai rumpun keilmuan yang beragam. Seseorang tidak dibenarkan untuk berdalil dengan menggunakan hadits Nabi Muhammad SAW sebelum menguasai secara mendalam ragam keilmuan hadits tersebut.
Hal ini berterima dalam akal sehat sederhana karena juga diterapkan dalam segala rumpun keilmuan yang ada. Seseorang tidak dibenarkan mengambil tindakan medis terhadap orang yang sakit kecuali kalau dia mempunyai sertifikat dokter dan menguasai ilmunya. Begitu juga, seseorang tidak diizinkan untuk mengajar kecuali jika ia menguasai bidang yang ia ajar dan lain sebagainya.
Almarhum Kiai Ali Mustafa Yaqub, salah seorang pakar hadits Nusantara, menjelaskan dalam salah sebuah bukunya sebagai berikut:
وتنحصر دراسات الحديث النبوي في العصر الحاضر على ثلاثة أمور : الأول ما يتعلق بمصطلح الحديث بما في ذلك الدفاع عن الحديث ضد منكري الحديث والمستشرقين. والثاني ما يتعلق بطرق تخريج الحديث ونقد المتون والأسانيد. والثالث ما يتعلق بفهم الحديث النبوي.
Artinya, “Kajian hadits pada masa sekarang terbagi menjadi tiga bahasan. Pertama, berkaitan dengan dengan Ilmu Musthalah Hadits, termasuk untuk mempertahankan hadits dari serangan orang-orang yang menolak hadits dan para orientalis. Kedua, berkaitan dengan metode takhrij serta kritik matan dan sanad hadits. Ketiga, bahasan yang berkaitan dengan metode pemahaman hadits.”
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang baru bisa dikatakan sebagai ahli hadits dalam konteks sekarang ketika dia menguasai tiga ilmu berikut:
Pertama, Ilmu Musthalah Hadits, yaitu ilmu yang berisi tentang istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits, seperti apa yang dimaksud dengan sanad dan matan. Apa itu hadits sahih, hasan dan dhaif. Apa saja kriteria sebuah hadits disebut sahih, hasan dan dhaif. Apa yang dimaksud dengan istilah mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi. Apa yang dimaksud dengan hadits ahad dan variannya dan lain sebagainya.
Ilmu ini berfungsi untuk mempertahankan eksistensi hadits sebagai sumber kedua hukum Islam dari cengkeraman orang-orang yang tidak menyukainya.
Kedua, Ilmu Takhrij dan Dirasah Sanad, yaitu ilmu yang berisi tatacara mengidentifikasi sebuah teks apakah benar ia berstatus sebagai hadits Nabi atau bukan. Selain itu, ilmu ini juga berfungsi untuk membuktikan tingkat validitas sebuah ungkapan, apakah ia hadits sahih, hasan, atau dhaif dengan menganalisis segala sesuatu yang terdapat di dalam sanadnya.
Dengan menguasai ilmu ini, seseorang dapat mengatakan bahwa hadits ini bernilai sahih karena sanadnya bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW dan semua perawi (pembawa beritanya) berstatus jujur dan adil, serta hasil penelitian lainnya.
Ketiga, Ilmu Thuruq Fahmil Hadits, yaitu ilmu yang berisi tentang tatacara serta kaidah-kaidah khusus dalam memahami teks hadits seperti kaidah tidak semua hadits sahih langsung diamalkan, tidak semua hadits dhaif langsung ditolak, kaidah membedakan antara hadits yang mengandung syariat dan hadits yang hanya sebatas budaya lokal Arab semata dan lain sebagainya.
Ilmu ini sangat penting dalam ranah pengaplikasian hadits sehingga orang yang menguasainya diharapkan dapat memahami konteks sebuah hadits dengan baik dan benar.
Tulisan ini pernah dimuat di Bincangsyariah.com