Dalam Islam, akal mempunyai peranan yang penting. Salah satunya adalah untuk menjaga kehormatan manusia, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda: “Kemuliaan seorang laki-laki pada agamanya, kehormatannya pada akalnya, dan kesempurnaannya pada akhlaqnya.”
Selain itu, Imam Al-Ghazali memberikan sebuah perumpamaan menarik yaitu sinar yang keluar dari matahari. Menurutnya, matahari adalah akal manusia sedangkan sinar adalah pengetahuan manusia.
Kata al-‘aql dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 49 kali. Hal tersebut agaknya mengisyaratkan betapa pentingnya akal dalam kehidupan manusia. Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana fungsi akal dalam Al-Qur’an? Berikut penjelasannya:
Kata akal merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu kata al-‘aql (العقل) yang merupakan mashdar dari kata (عَقَلَ يَعْقِلُ عَقْلاً ومَعْقولاً) berarti tali pengikat, pikiran, ingatan, paham dan rasio. Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, kata al-‘aql mempunyai persamaan dengan kata al-hijr (الحِجْر) berarti menahan, mencegah atau mengikat dan an-nuha (النُّهى) berarti kepintaran yang merupakan antonim dari kata al-humq (الحُمْق) yang berarti bodoh, dungu.
Sedangkan menurut Khalil, kata al-‘aql dapat memberi petunjuk yang luas terhadap kekurangan pada suatu hal atau yang mendekatinya. Adapun menurut Raghib al-Ashfahani, kata al-‘aql merupakan potensi dalam diri manusia yang disiapkan untuk menerima ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dengan kekuatan akal tersebut.
Sederhananya, akal adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk membedakan antara baik dan buruk, dapat menerima ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, serta sebagai penghalang terjatuhnya kesalahan dan dosa. Lebih lanjut, setidaknya akal mempunyai tiga fungsi di dalam al-Qur’an, sebagaimana berikut :
Pertama, untuk Memahami. Salah satu fungsi akal yang pertama adalah untuk memahami ayat al-Qur’an. Seperti ayat-ayat kauniyah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S al-Baqarah: 164).
Menurut Sayyid Qutb, ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran karena mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama yaitu mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang tersaji dalam alam semesta ini. Di samping itu, dengan adanya akal manusia dapat membuka cakrawala dan pengetahuan yang diungkapkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an.
Kedua, untuk Mengambil Hikmah dan Pelajaran. Fungsi akal yang kedua adalah untuk mengambil sebuah pelajaran dari suatu kejadian yang terdapat dalam al-Qur’an. Seperti mengambil pelajaran dari para penghuni neraka, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q.S al-Mulk: 10)
Menurut Wahbah az-Zuhaili, para penghuni neraka mencerca dan menyalahkan dirinya masing-masing, dengan berkata: “Seandainya kami di dunia mendengar sungguh-sungguh kepada siapa yang membawa kebenaran dan menginginkan jawaban, atau menyadari dan berpikir atas apa yang ia (Rasulullah Saw) seru kepada kami, dari hidayah dan petunjuk, maka tidaklah kami tertimpa api nereka yang menyala-nyala.”
Ketiga, untuk Menjaga Diri dan Mencegah dari Perbuatan Tercela. Fungsi akal yang ketiga adalah untuk menjaga diri serta mencegah dari perbuatan tercela. Seperti menjaga diri dari sesuatu yang haram , sebagaimana firman-Nya :
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (Q.S al-An’am: 151).
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menjelaskan aneka hal yang haram dengan tanpa menyebutkan sesuatu yang berkaitan dengan makanan. Hal ini tentunya mengisyaratkan bahwa akal berfungsi sebagai penghindar dari kejahatan moral terhadap Allah SWT dan manusia. Oleh karenanya, adanya penutup ayat dengan redaksi La’alakum Ta’qilun akan menjadikan sentakan bagi manusia agar dapat memahami atas apa yang disampaikan Allah Swt serta agar terjauh dari kejahatan moral.
Wallahu A’lam