Muslim di Afrika Selatan sedang memperjuangkan status hukum pernikahan Islam di Afrika Selatan. Minggu lalu, kontroversi muncul dari Menteri Dalam Negeri Afrika Selatan Aaron Motsoaledi. Motsoaledi mengatakan sertifikat kematian tidak dapat mengindikasikan bahwa seseorang telah menikah, kecuali pernikahan dianggap sah berdasarkan hukum Afrika Selatan.
Di bawah Partai ANC (African National Congress) yang berkuasa sejak 1994, negara Afrika Selatan memang hanya mengakui status hukum pernikahan adat Afrika. Adapun status hukum pernikahan agama, termasuk Islam, tidak dianggap sebagai pernikahan sah secara hukum negara Afrika Selatan.
“Sebuah pernikahan yang dilakukan dalam hal ritus Muslim sejauh ini tidak diakui di Afrika Selatan. Departemen tidak akan memiliki wewenang untuk menunjukkan bahwa seseorang menikah dalam akta kematian, padahal tidak demikian halnya dalam hal hukum.” Demikian kata Motsoaledi dilansir oleh VOA news (11/6). Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan tertulis oleh pemimpin Partai Al Jama-ah Ganief Hendricks.
Kontroversi ini kembali menyeruak bersamaan banyaknya kematian Muslim akibat wabah Covid-19. Hendricks menunjukkan bahwa ketika seorang lelaki Muslim meninggal akibat Covid-19, janda yang dinikahinya mendapat sertifikat kematian yang menerangkan bahwa si perempuan berstatus “tidak pernah menikah”. Menurut Hendricks, ini mengejutkan dan mencederai kehormatan banyak perempuan.
Tidak ada pernyataan resmi berapa jumlah Muslim Afrika Selatan yang meninggal akibat Covid-19. Per tanggal 13 Juni 2020, Afrika Selatan mencatatkan 61,927 kasus positif Covid-19 dan 1,354 di antaranya meninggal dunia.
Lebih jauh lagi, tidak diakuinya status hukum pernikahan Islam oleh negara, berdampak pada cederanya martabat perempuan dan anak-anak.
“Pengadilan tidak mengakui pernikahan mereka, sehingga mereka dikenakan proses informal dan tindakan nonlegal apa pun yang dilakukan dalam urusan agama untuk menangani pembagian harta dalam kasus perceraian,” keterangan Charlene May, seorang peneliti di The Women’s Legal Center in South Africa, atau Pusat Hukum Perempuan Afrika Selatan.
Pusat Hukum Perempuan sebenarnya sudah memperjuangkan untuk mengubah status hukum pernikahan Islam yang tidak diakui negara. Pada 2018, Pusat Hukum Perempuan Afrika Selatan memenangkan kasus di Pengadilan Tinggi Western Cape yang memutuskan pemerintah harus melegalkan pernikahan Muslim dalam dua tahun. Namun, negara menentang putusan tersebut, dan Mahkamah Agung akan meninjau kembali kasus tersebut.
Departemen Dalam Negeri Afrika Selatan sedang mengerjakan RUU Pernikahan omnibus. Namun Hendricks khawatir RUU itu akan memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun.
“Kita tidak bisa menunggu empat tahun untuk melakukan partisipasi publik, drafting,” kata Hendricks. “Yang kita inginkan dalam tindakan itu, pernikahan Muslim adalah pernikahan yang sah seperti halnya pernikahan gay.”
Akan tetapi, menurut juru bicara Menteri Dalam Negeri Afrika Selatan, mengatakan bahwa pembahasan mengenai kebijakan pernikahan yang baru sedang diajukan, untuk mencerminkan pernikahan dan praktiknya di Afrika Selatan modern. Menurut juru bicara tersebut, pemerintah berharap undang-undang ini akan selesai pada bulan Maret mendatang.