
Ketika pemutusan hubungan kerja buruh PT. Sritex sebelum Ramadan kemarin menyeruak, saya sempat tertegun. “Apakah mereka masih bisa mendapatkan hak-hak sebagai buruh dari perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut?” Pertanyaan ini terlintas di benak saya. THR (Tunjangan Hari Raya) adalah poin paling awal muncul, karena perusahaan pailit dan mereka dipecat sebelum hak mereka atas THR ditunaikan.
THR dan gerakan buruh memiliki hubungan historis. Pada 1950-an, organisasi buruh terbesar kala itu, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), memperjuangkan pemberian THR untuk kalangan buruh. Kondisi ekonomi yang sedang kesulitan, THR tentu sedikit memberikan ketenangan bagi buruh. Namun hingga 1960-an, pemberian THR hanya berupa seruan dan tidak benar-benar dijalankan.
Baru di 1960-an, THR baru diatur dalam regulasi yang mengikat. Sejak itu, THR tidak saja menjadi hak buruh, namun juga menjadi persoalan mereka. Kemarin saja, buruh PT. Sritex hingga buruh prekariat, dalam hal ini driver Ojek, menuntut kehadiran Negara untuk menjamin hak mereka berupa THR.
Di sisi lain, THR hari ini tidak hanya urusan buruh. Kata THR juga digunakan masyarakat biasa yang tidak memiliki hubungan kerja. Pemberian “berkah” (baca: hadiah biasanya berupa uang) kepada keluarga, teman-teman, anak-anak di komplek, hingga masyarakat luas pun disebut THR.
THR di Kelas Menengah Muslim
Sebagai hak pekerja, THR sebagai penyemangat menjelang Hari Raya. Sayangnya, tahun kondisi ekonomi Indonesia yang tidak baik-baik saja. Penurun daya beli masyarakat di bulan Ramadan hingga angka pemudik tahun ini adalah buktinya. Sepertinya pemberian THR gagal menggerakkan ekonomi.
THR lebih berpengaruh di masyarakat urban daripada rural, meskipun dampaknya tetap terasa hingga pelosok. Hal ini menjadikan THR sebagai narasi populer di kalangan kelas menengah muslim. Umumnya, mereka penerima THR, karna sebagai pekerja, termasuk pekerja Gig ekonomi (nanti akan dijelaskan di bawah) pegawai negeri, karyawan kantor, hingga buruh pabrik.
Uang THR biasanya dibawa pulang saat mudik ke desa. Harapan ini sepertinya akan terkendala. Tekanan ekonomi hari ini membuat banyak kelas menengah Muslim sedikit ragu atau galau menatap masa depan. Walhasil, sebagian mereka pun “menunda” atau membatalkan niat untuk mudik.
Kondisi keuangan yang belum benar-benar aman menjadi dalih utama mereka. Selain itu, mereka juga masih berhadapan dengan ketidakpastian dalam pekerjaan mereka. Ketimbang hancur lebur pasca Idul Fitri, keputusan untuk tidak mudik, bagi mereka, adalah hal bijak.
Inilah kondisi kita hari ini. THR yang menjadi “moodbooster” bagi banyak kalangan, namun sepertinya tidak akan benar-benar menggerakkan roda ekonomi. Kelas menengah Muslim jelas merasa terhimpit dan berhadapan banyak kesulitan. THR hanya pelipur lara sementara yang mereka bisa dapatkan di tengah kondisi ekonomi hari ini.
THR, Negara, dan Gig Economy
“Bagaimana nasib buruh di ruang-ruang digital?” Pertanyaan ini sepertinya masih banyak luput dari perhatian publik. Bahkan, kala Presiden Prabowo membincangnya, jaminan THR bagi buruh prekariat atau pekerja Gig Ekonomi sepertinya masih sedikit dari kita meresponnya.
“Jaminan” di kalangan pekerja Gig Ekonomi adalah kata asing. Dalam relasi kerja mereka, hanya ada kerentanan, kerapuhan, dan masa depan tak bisa diprediksi. Walaupun, di sisi lain, bagi sebagian mereka masih mengharapkan mengintip apa yang terjadi kelak bisa lebih baik dari hari ini. Notifikasi orderan makanan, hantaran, hingga pengantaran orang adalah kebahagiaan mereka dan keluarga.
Para penarik gojek pun “hanya” mendapat lima puluh ribu rupiah per orang. Tentu “THR” ini, bagi banyak penarik gojek, tidak memberikan ketenangan di akhir bulan Ramadan kali ini. Kehadiran Negara atas pekerja prekariat, seperti penarik gojek, ini memang terkesan sumir. THR adalah hak buruh.
Negara harus memberikan perlindungan berupa kewajiban bagi operator, ketimbang hanya sekedar anjuran. Ekonomi pekerja lepas atau Gig Economy harus menjadi perhatian Negara dan kita semua, agar semau buruh di ruang digital tersebut bisa mendapatkan hak mereka atas THR.
Kondisi Negara kita tidak baik-baik saja. Mudik menurun. Hunian hotel pun tidak seramai tahun lalu. Bahkan, teriakan ini sudah terdengar lirih sejak bulan Ramadan kemarin. Perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja tentu mempengaruhi terpenuhinya potensi zakat di masyarakat Muslim. Jika Negara gagal menghadirkan ketenangan ekonomi bagi masyarakat, potensi zakat pun tak bisa dicapai.
Presiden Prabowo menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai angka Rp. 327 triliun. Prabowo juga menyebutkan andai potensi zakat ini terwujud, maka bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan di Indonesia. Pernyataan ini mengherankan. Bagaimana masyarakat bisa berzakat ketika kondisi keuangan mereka sendiri sulit?
Di tengah “euforia” THR, kondisi kelas menengah Muslim jelas tidak baik-baik saja. Walaupun, konsumsi sedikit bergerak karna sebagian mereka tetap belanja dan berbagi ke sanak famili, kolega, hingga masyarakat luas. Uang yang diberikan atau dibelanjakan tentu bukan hanya dari THR, tapi hasil kerja keras mereka di kota-kota atau di perantauan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin