Wabah penyakit, seperti Corona sudah menjadi bagian dari sejarah manusia, dan ia juga terjadi semasa Rasulullah hidup. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu digarisbawahi kata wabah yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pengertian dari KBBI: penyakit menular yg berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yg luas – bukan definisi teknis dari Kementerian Kesehatan/WHO.
Salah satu wabah yang sering disebut oleh Rasulullah adalah penyakit tha’un atau pes (dalam bahasa Inggris plague). Di Indonesia, penyakit ini juga disebut sampar.
Berikut adalah hadis populer tentang tha’un yang cukup populer:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan dalam Shahih al Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya. Perlu dicermati bahwa kata tha’un telah digunakan oleh masyarakat Arab secara luas sebelum masa Nabi.
Cukup banyak diskusi ulama tentang definisi tha’un di atas. Secara bahasa, tha’un berasal dari kata tha’ana – yath’anu yang artinya terluka atau tercederai. Bagi masyarakat kala itu, termasuk di era Nabi, sebab tha’un masih misteri dan samar. Nabi menyatakan dalam sebuah riwayat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwa tha’un berasal dari tikaman jin (wakhzul jinn).
Konteks ucapan tersebut adalah Nabi berdoa agar umatnya mati syahid akibat tha’n dan tha’un. Kata ath-tha’nu yang dimaksud Nabi pertama adalah tikaman musuh saat berperang, dan para sahabat telah tahu maksudnya. Namun sahabat belum banyak mengetahui tentang tha’un, dan Nabi menjawab: “tha’un berasal dari serangan jin”.
Keterangan Nabi perihal tha’un cukup populer digunakan para ulama ahli hadis. Ibnu Hajar al Asqalani mencatat dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari perihal definisi tha’un di kalangan ulama.
Ada ulama yang menyamakan tha’un dengan wabah secara umum, namun ada yang memberikan definisi secara spesifik sesuai konteks pengetahuan zamannya. Imam an-Nawawi mencatat dalam Raudlatut Thalibin bahwa tha’un adalah kondisi ketika “darah menyebar luas ke seluruh anggota tubuh”. Selain itu Imam al-Ghazali juga menerangkan bahwa tha’un adalah kondisi tubuh yang meradang akibat gangguan darah, disertai gejala demam.
Para ulama yang membedakan antara tha’un dengan wabah penyakit lainnya bersandar pada hadis seputar keistimewaan kota Madinah. Diriwayatkan bahwa kota Madinah tidak akan dimasuki oleh tha’un. Di sisi lain, Aisyah pernah meriwayatkan hadis bahwa ketika sahabat bersama Nabi tiba di Madinah, telah dikenal bahwa daerah ini sangat banyak wabah penyakitnya (awba’u ardlillah). Ulama melakukan kompromi dua makna hadis dengan simpulan: tha’un adalah satu jenis atau sesuatu yang lain dari wabah penyakit di Madinah, yang mungkin belum ada kasusnya di Madinah kala itu.
Para dokter di masa lampau telah berusaha mencari asal-usul tha’un ini. Ibnu Sina dan Al-Razi memiliki satu entri khusus soal tha’un. Konon, belum ada pengetahuan seputar penyakit menular yang memadai di masa itu, dan dugaan paling mungkin tentang penyebab tha’un adalah penyakit terkait darah yang disebabkan oleh menghirup udara yang terpapar berbagai hal kotor, seperti buah busuk atau bangkai.
Selain hadis yang disinggung di awal, dalam bab tha’un kitab Shahih Al-Bukhari juga disampaikan suatu kisah ketika Sayyidina Umar bertandang ke Syam, namun ketika mendengar ada wabah penyakit di sana, beliau kembali ke Madinah. Tidak disebutkan secara spesifik wabah apa yang terjadi di sana kala itu, namun Ibnu Hajar menyertakan riwayat bahwa wabah itu adalah tha’un. Abu Ubaidah bin Al Jarrah, gubernur Syam yang melaporkan adanya wabah kepada Umar kala itu, disebutkan sebagai salah satu sahabat yang wafat akibat tha’un.
Dalam satu keterangan yang dikutip Ibnu Hajar, wabah tha’un telah merenggut puluhan ribu nyawa di era sebelum Islam. Wabah tha’un atau pes ini adalah salah satu penyakit yang mengubah wajah dunia, seperti fenomena Black Death di dataran Eropa dan Mediterania kurun abad 13-14 Masehi atau wabah serupa di India kurun abad ke-18 dan 19. Banyak korban berjatuhan, para ilmuwan dan agamawan pun tergerak untuk meneliti terus menerus sebab dan cara mengobati penyakit ini – serta lebih mempercayai kontribusi sains pada peradaban manusia.
Di Indonesia, terdapat satu momen di awal abad ke-20 ketika ratusan ribu jiwa meninggal akibat wabah pes di Jawa. Salah satu tokoh nasional yang menangani wabah pes ini adalah dr. Tjipto Mangunkusumo di area Malang dan sekitarnya. Penanganan kala itu adalah pemberantasan dan pembakaran sarang tikus, rekonstruksi bangunan rumah yang berpeluang meningkatkan habitat tikus, serta saja perawatan penduduk terdampak.
Tha’un di era sekarang adalah istilah spesifik penyakit pes atau sampar. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis, yang terdapat dalam kutu tikus atau hewan pengerat lainnya (disebut pinjal). Kutu ini menginfeksi dengan mengisap darah manusia maupun hewan yang menjadi perantaranya.
Bakteri Yersinia pestis dalam kutu hewan pengerat tersebut memasuki tubuh manusia saat seseorang mengalami kontak dengan hewan yang terinfeksi bakteri tersebut. Kontak dapat secara langsung dari darah hewan yang terinfeksi melalui kulit manusia yang terluka, melalui gigitan kutu/pinjal yang hidup di hewan pengerat, atau kontak dengan penderita.
Peluang terjadinya pes ini semakin tinggi jika tinggal di lingkungan dengan sanitasi buruk atau populasi tinggi hewan pengerat. Masyarakat dapat terjangkit melalui kontak dengan hewan yang mati atau terinfeksi pes, atau bepergian ke area di mana terdapat infeksi pes.
Gejala penyakit pes bervariasi berdasarkan organ yang terinfeksi. Merujuk keterangan dari WHO ada tiga jenis gejala: bubonik, septikemik, dan pneumonik. Pada pes jenis bubonik atau limfatik, ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) pada ketiak, leher atau lipat paha yang dapat seukuran telur ayam, dengan diikuti demam tinggi sampai menggigil, lemas, nyeri otot, serta jika tak tertangani dapat memicu kejang akibat otak yang terinfeksi.
Pada kondisi septikemik, ia bisa merupakan kelanjutan gejala bubonik atau muncul sebagai ciri tersendiri. Gejala infeksi pes septikemik ini di antaranya adalah demam, mual dan muntah diikuti nyeri perut, kemudian diikuti kulit menghitam dan perdarahan. Inilah yang menjadikan mengapa tha’un dahulu dianggap seperti “dilukai jin”.
Sedangkan gejala pes pneumonik menjadi tanda bahwa bakteri tersebut telah masuk ke paru-paru, dengan gejala seperti dua jenis sebelumnya diikuti sesak dan batuk darah. Jenis terakhir ini sangat mematikan karena langsung mengganggu fungsi pernapasan dan sirkulasi.
Angka kejadian penyakit pes di Indonesia banyak menurun dari waktu ke waktu. Penyakit ini serius, cepat menular, dan cepat mengakibatkan kematian. Pengobatan definitifnya adalah pemberian antibiotik, dan orang-orang yang pernah berinteraksi dengan penderitanya perlu mendapatkan peninjauan secara khusus. Demikian perihal wabah pes atau sampar yang dalam hadis Nabi dikenal sebagai tha’un ini adalah sesuatu yang misterius, mistik, dan menjadi sejarah kelam peradaban, sebelum sains mampu menjadi jalan menyajikan solusinya. (AN)
Wallahu a’lam.