Dr. Zainul Majdi, cendekiawan Muslim Indonesia yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB Zainul Majdi) memberikan pendapatnya mengenai keberadaan organisasi transnasional Hizbut Tahrir yang aktif mempropagandakan khilafah Islam di Indonesia.
Dalam video sebuah acara seminar, Tuan Guru Bajang menyampaikan bahwa eksistensi Hizbut Tahrir di Indonesia bersifat destruktif terhadap kesepakatan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Tidak lain karena embrio organisasi politik Hizbut Tahrir yang lahir dari ide-ide transnasional tidak menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
“Sepanjang sesuatu itu menghadirkan kebaikan, Islam itu akan selalu mengapresiasi dengan pandangan yang positif.” Ujar TGB membuka pembicaraannya.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat itu melanjutkan, “Kecuali jika ada sesuatu yang sifatnya destruktif terhadap kesepakatan kita. seperti halnya Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir itu ide transnasional. Itu akan destruktif terhadap kesepakatan kita berindonesia.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Tuan Guru Bajang mengajak para peserta seminar untuk bersikap secara tegas kepada Hizbut Tahrir ini dengan cara menolak keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia.
“Karena dia destruktif terhadap kesepakatan kita, maka kita harus bersikap. Seperti apa sikap kita? sikap kita menolak itu!”
Lebih jauh, beliau mengungkapkan bahwa jika keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia dibiarkan berkembang di kalangan masyarakat di Indonesia, maka jalinan persaudaraan antar masyarakat dan platform hidup bersama sebagai satu bangsa akan bisa rusak dan hancur.
Menguatkan pendapatnya, TGB Zainul Majdi mengajukan kaidah ushul fiqih yang bisa dilihat sebagai kacamata untuk melihat keberadaan Hizbut Tahrir ini.
Tuan Guru Bajang menyampaikan bahwa dalam ilmu ushul fiqih, terdapat sebuah kaidah yang berbunyi al-masalih al-mutahaqqiqah muqaddamatun ‘alaa masaalih al-marjuhah. Kaidah ushul fiqih ini bermakna kurang lebih “kemaslahatan yang sudah konkret dan jelas, didahulukan atas kemaslahatan yang sifatnya masih diprediksi.”
Kemaslahatan yang konkret, sudah terbukti, sudah proven tidak boleh dikorbankan demi kemaslahatan yang sifatnya masih prediktif. Yang belum terbukti kemanfaatannya sebagai bangsa.
Contoh konkretnya, bahwa kesepakatan masyarakat Indonesia dalam ber-NKRI ini sudah nyata maslahatanya. Dengannya, kita bisa utuh sebagai bangsa dan menjadi konsensus bersama untuk hidup berdampingan satu sama lain dari berbagai suku dan agama. Kemaslahatan berbangsa yang sudah begitu nyata, yang terbukti, tidak boleh dikorbankan untuk sesuatu yang sifatnya masih prediktif atau belum pasti. Apalagi keberadaan Hizbut Tahrir yang berpotensi merusak kemaslahatan yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa sejak lama.
“Apalagi sesuatu itu (Hizbut Tahrir, red.), yang kita yakini berdasarkan kondisi yang ada, itu justru bisa merusak keberagaman.” Pungkasnya.