Seluk Beluk Ushul Fiqih untuk Pemula (1): Pintu Gerbang Semesta Ilmu

Seluk Beluk Ushul Fiqih untuk Pemula (1): Pintu Gerbang Semesta Ilmu

Islam sama sekali bukanlah agama yang anti akal, pikiran, nalar, dan ilmu. Islam akan berkembang pesat jika digali dan dikepakan dengan sayap metodologi, alih-alih cocoklogi.

Seluk Beluk Ushul Fiqih untuk Pemula (1): Pintu Gerbang Semesta Ilmu

Semangat belajar agama Islam dan mengamalkan peribadatannya sudah pasti merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam. Semakin dalam dan luas keilmuan seseorang, niscaya akan semakin dalam dan luas pula penjelajahan dan penyelaman pemahamannya kepada sumber-sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw), yang kemudian akan sangat berguna untuk mengekarkan dan menggempalkan keimanannya, lalu ketakwaannya, dan lalu akhlak sosialnya.

Di dalam al-Qur’an, karakter muslim sejenis itu diungkapkan dalam berbagai istilah kunci. Ada hanifan musliman (lurus dan pasrah), ulul albab (ahli pikir dan dzikir), ar-rasikhun fil ‘ilmi (ahli ilmu yang hatinya tunduk kepada Allah Swt), hingga ummat wasathah, dan ‘ibadur Rahman.

Dalam ungkapan-ungkapan bernada kontra-naratif (bernada mempertanyakan, bahkan terkesan mencerca), al-Qur’an banyak sekali menggunakan sejenis: afala ta’qilun (apakah kalian tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kalian tidak berpikir), afala tatadabbarun (apakah kalian tidak bisa mengambil permenungan) hingga aktsaruhum la ya’qilun (kebanyakan mereka memang tak menggunakan akalnya) maupun la’allahum yatafakkarun (semoga mereka mau berpikir). Dan masih banyak lagi. Silakan cek, misal, surat al-Mujadilah 11, az-Zumar 11, Hud 24, dan Ibrahim 52.

Ada satu ayat yang sangat keras betul ditujukan kepada kita yang tidak mempergunakan atau mendapatkan manfaat dari potensi karunia akal dan nuraninya. Surat al-A’raf 179:

Dan sesungguhnya telah Kami jadikan untuk (penghuni) neraka Jahannam itu banyak sekali golongan jin dan manusia; mereka memiliki hati tetapi tidak menjadikan mereka memahami (ayat-ayat Allah Swt), mereka memiliki mata tetapi tidak mampu membuat mereka melihat, dan mereka memiliki telinga tetapi tidak membuat mereka mampu mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi.

Dari khazanah hadis, niscaya kita akan sangat bisa menemukan dalil rujukannya dengan sangat mudah, luas, dan berlimpah. Di antara yang sangat terkenal ialah thalabul ‘ilm faridhatun ‘ala kulli muslimin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam).

Di antara sahabat dekat Rasulullah Saw yang dikenal ahli ilmu (‘alim, faqih) ialah Mu’adz bin Jabal. Dalam usianya yang masih muda, beliau sering betul dijadikan rujukan pendapat oleh orang-orang di sekitarnya. Rasulullah Saw sampai memujinya sebagai ahli hukum. Umar bin Khattab pun memujinya dengan ucapan, “Jika tidak ada Mu’adz bin Jabal, celakalah Umar.”

Suatu hari, Rasulullah Saw mengutus Mu’adz bin Jabal untuk mensyiarkan Islam ke Syam. Sebelum berangkat, Rasulullah Saw bertanya kepadanya, “dengan apakah engkau akan memutuskan hukum?”

“Dengan al-Qur’an,” Mu’adz menjawab.

Nabi Saw bertanya lagi, “dengan apa engkau akan memutuskan hukum jika tidak ada keterangannya dalam al-Qur’an?

“Dengan Sunnah Rasulullah Saw,” jawab Mu’adz.

Lalu ditanya lagi: “dengan apa engkau akan memutuskan hukum jika tidak ada keterangannya dalam al-Qur’an dan sunnahku?”

Mu’adz menjawab, “aku akan mempergunakan akalku” pungkas Mu’adz. Dan Rasulullah Saw pun membenarkannya.

Riwayat tersebut amat sering dijadikan sumber naqli dalam kajian Ushul Fiqh sebagai landasan bagi kebolehan dan pula keutamaan ijtihad (menggali hukum Islam yang tidak ada keterangan jelasnya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw). Abdul Wahab Khalaf menukil riwayat tersebut dalam kitabnya, ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa Khulashatu al-Tasyri’ al-Islami.

Tentulah, dari lingkaran sahabat awal (as-sabiqun al-awwalun), jangan pernah melupakan sosok agung yang termasuk ke dalam Ahlu al-Kisa’ (orang-orang dalam jubah)—sangat dikenal dalam tradisi sufisme—yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Ahlu al-Kisa’, sebagaimana diriwayatkan Ummu Salamah (salah satu istri Nabi Saw), menuturkan bahwa ada lima orang yang dipeluk dalam jubah Rasulullah Saw, yang populer kini terangkum dalam syi’iran Li Khamsatun:

Li khamsatun uthfi biha haral waba’il hatimah

Al-Mushthafa wal Murtadha wabnahuma wa Fathimah

Al-Mushthafa menunjuk kepada Rasulullah Saw, al-Murtadha menunjuk kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan wabnahuma menunjuk kepada Sayyidina Hasan dan Husein Ra. Lengkap lima orang dengan Sayyidah Fatimah Ra.

Dalam riwayat Hakim, Rasulullah Saw bersabda: “Aku adalah kota ilmu pengetahuan (madinatul ‘ilmi) dan Ali bin Abi Thalib adalah pintu gerbangnya. Siapa yang ingin memasuki kotaku, hendaklah ia memasukinya melalui pintu gerbang itu.

Rasulullah Saw memiliki empat anak perempuan yang tumbuh dewasa dan berkeluarga, yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Dua putri beliau Saw, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dinikahi dengan berurutan oleh Utsman bin Affan sehingga beliau dijuluki Dzun Nuraini (Pemilik Dua Cahaya).

Dari keempatnya, hanya dari Sayyidah Fatimah garis keturunan Rasulullah Saw berlanjut, yakni Sayyidina Hasan dan Husein. Dari nasab Sayyidina Husein bin Ali inilah, terus berlanjut “tongkat estafet” kota ilmu pengetahuan tersebut, yakni Sayyidina Ali Zainal Abidin as-Sajjad, kemudian Muhammad Bakr, dan kemudian Imam Ja’far ash-Shadiq. Sosok terakhir inilah yang disebut-sebut sebagai “anak kunci bagi pintu gerbang untuk memasuki kota ilmu pengetahuan Rasulullah Saw”.

***

Di masa dua abad pertama Hijriah, dinamika keilmuan di antara para ulama dan tokoh Islam amatlah luar biasa semarak. Guru utamanya saat itu adalah Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau dikenal sangat cakap dalam pelbagai ilmu pengetahuan, dari al-Qur’an, hadis, kalam, fiqh, akhlak, falak, dan pula tasawuf.

Dari garis tradisi keilmuannya itulah, lahir sosok besar yang kita kenal luas hingga hari ini, yakni Abu Hanifah. Dan, dari sanad ilmunya, lahir Imam Malik, lalu Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Tentu juga ada nama-nama lainnya, macam Imam Sufyan as-Tsauri, Hasan Bashri, dan sebagainya. Jangan lupakan pula Imam ad-Duali, tokoh awal yang merumuskan ilmu Nahwu (gramatika Arab) secara sistematis—kendati disebut-sebut bahwa peletak pertamanya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Sayangnya, pasca dua abad Hijriah awal ini, merkuri ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam meredup akibat derasnya ontran-ontran politik kekuasaan. Para khalifah saat itu acap betul menggunakan senjata doktrin agama untuk membungkam siapa pun yang dianggap musuh politiknya.

Di antara bentuknya ialah disebarkannya hadis palsu yang berbunyi: “Al-aimmah min Quraisy, (para pemimpin haruslah dari kaum Quraisy). Ada lagi: “Al-aimmah min Abbas, (para pemimpin haruslah dari keturunan Abbas).

Lebih-lebih di era Umayah, lazim betul khatib Jumat saat itu melontarkan caci-maki kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan keturunannya serta para pengikutinya, yang kemudian baru diubah di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan perintah menggantinya dengan bacaan ayat innaLlaha ya’murukum bil ‘adli wal ihsan….

Begitulah ancaman serius kepentingan politik kekuasaan kepada khazanah ilmu pengetahuan dan otentisitas ajaran Islam.

Lintasan singkat sejarah awal Islam itu sengaja saya banjarkan di sini untuk memberikan ilustrasi bahwa Islam sama sekali bukanlah agama yang anti akal, pikiran, nalar, dan ilmu. Tidak benar begitu!

Islam adalah agama yang berbasis dalil-dalil naqli dan pula dalil-dalil aqli. Antara khazanah sumber ajaran itu (yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw) dengan kajian ilmu sama-sama urgen, mendasar, vital, pokok, dan pentingnya. Keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya mesti berangkulan sublim-menyublim, bagai jari-jari di tangan kanan dan kiri bila dipertemukan, saling dimasukkan satu sama lain, ia akan menghasilkan kekuatan yang hebat.

Dengan kata lain, jika pemahaman berislam kita hanya menggunakan jari-jari di tangan kanan (naqli), ia takkan menghasilkan kekuatan yang hebat dan menghunjam, sebaliknya jika hanya menggunakan jari-jari di tangan kiri, nasibnya pun akan kurang lebih sepadan.

Sekali lagi, keduanya harus saling menggenggam, dan itulah yang disebut al-dinu ‘aqlun la dina liman la ‘aqla fih (agama adalah akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mempergunakan akalnya).

Simaklah hadis Rasulullah Saw ini: “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang menginginkan kehidupan akhirat, wajib baginya memiliki ilmu. Dan siapa yang menghendaki keduanya, wajib baginya memiliki ilmu.” (HR. Tirmidzi).

Imam Syafii mengatakan, “Pendapat seseorang yang tidak berdasarkan kefasihan pengetahuan tentang bahasa Arab pastilah lemah dan mesti ditolak.

Imam Ghazali mengatakan, “Jika ucapan itu masuk akal dan didukung oleh argumen yang rasional, serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, maka mengapa ia harus dibuang dan tinggalkan?

Kali lain, beliau al-Ghazali mengatakan, “Fatwa seseorang yang tidak memiliki ilmu manthiq diragukan kebenarannya.” Maksud ilmu manthiq tersebut adalah ilmu logika, nalar.

Imam Syatibi mengatakan, “Syarat menjadi mujtahid (penggali/penafsir syariat Islam) ialah mampu memahami maqashid al-syariah secara sempurna dan mampu menggunakan maqashid al-syariah dalam praktik istinbath al-ahkam sesuai konteks dan tempatnya.

Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur mengatakan, “Para ulama wajib melakukan istinbath al-ahkam dalam rangka menyikapi aneka hukum baru dengan berbagai tantangannya yang kompleks.

Prof. Quaraish Shihab mengatakan, “Akal harus diasah dengan ilmu pengetahuan. Akal yang berilmu akan mengantar kepada pengikatan diri kepada hukum-hukum Islam, menjadikannya hidup, subur, dan lebat berdaun dan berbuah, memberikan manfaat kepada siapa pun, bagaikan sebuah tanah mati (kering, gersang) yang ketika diguyur hujan ia pun jadi hidup, menumbuhkan tanaman dan buah-buahan. Akal yang berilmu akan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt.

BACA JUGA Seluk Beluk Ushul Fiqih untuk Pemula (2): Sumber Utama Hukum Islam