Terserah Tuhan

Terserah Tuhan

Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.

Terserah Tuhan

Hidup di zaman kebangkitan Islam  (kalau  benar  konsep  ini menggambarkan  realitas  sosial sekarang) memiliki persoalan tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.

Ketika  di  Universitas  Muhammadiyah  Jakarta  saya diminta bicara di depan segenggam mahasiswa “penjaga  mesjid”,  saya diingatkan  agar  lebih  menguasai  Islam  secara  tekstual. Karena, pendekatan saya, kata  salah  seorang  dari  mereka, bersifat “ilmu sosial” biasa.

Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu termasuk “agama” hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.

Dari tahun  ke  tahun,  ada  saja  mahasiswa  Indonesia,  di Universitas  Monash,  yang bersemangat memburu daging halal. Dasarnya, daging  di  supermarket  haram  karena  disembelih tidak dengan cara Islam. Penjelasan –bahwa makanan para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim–  tidak  pernah laku.

Akhir-akhir   ini,  saya  memberi  ceramah.  Tanpa  menyebut sepotong pun ayat,  saya  bicara  agama.  Buat  saya,  agama terpancar  dalam  hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab minded,  karena,  agama  lebih  menuntut   tindakan,   bukan kecanggihan  ilmu,  dari  pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk yang baik tanpa harus menjadi ahli.

Persoalan muncul. Saya diultimatum  oleh  wanita  berjilbab: “Lain  kali,  hati-hati.  Kalau  ceramah begitu di Indonesia bisa pulang tinggal nama.”

Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang  yang  paham  yang tahu  bahwa  saya  pun  sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan, yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas Djohan  (Djohan  Effendi)  pernah  bicara  tentang guru yang membikin  murid  bertanya-tanya.   Saat   pelajaran   agama, anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.

“Pak, katanya, pelajaran agama?” tanya seorang murid.

“Ya,  ini  juga  pelajaran  agama,”  kata  Pak Guru, tenang. “Dasar teorinya: ‘kebersihan  adalah  sebagian  dari  iman’. Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman.”

Anak-anak  mesem.  Agama,  dengan  begitu, masih tetap agama biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.

Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah  kiai.  Paham  Quran  dan Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon petunjuk.

“Kamu tidak butuh kiai macam saya,” kata Pak Kiai. “Pergilah kamu pada Kamin.”

Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang  bakso.  Tahu apa  tukang  bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia hidup? “Kiai gendeng,” pikirnya.

“Tidak, saya serius, Nak,” kata Pak Kiai.

Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul  Pak  Kiai, sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.

Tapi,  mengapa  Kamin?  Ia  masih penasaran. Tentu saja, Pak Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak  mau  bicara langsung?

Dengan  rumusan  itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak ada yang istimewa di sana,  selain  bahwa  Kamin  sekeluarga bekerja   keras.   Anak-anaknya  dikerahkan  untuk  membantu mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.

Setelah  periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di depan rumahnya  itu,  melayani  pembeli.  Warung  itu  maju. Bakso,  krupuk  udang,  dan es kelapa, jadi pasangan serasi. Pembeli berjejal.

Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah.  Biayanya,  ya, dari  warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup dari situ. Mereka hidup tentram.

Hardi mulai tertarik.  Ia  mencoba  mengamati  lebih  dekat, lebih  dalam.  Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.

“Apa doa kang Kamin sehabis salat?” tanya Hardi.

“Saya serahkan hidup ini pada Tuhan,” jawabnya, polos.

“Warung Anda maju. Apa rahasianya?”

“Tidak ada. Semua terserah Tuhan.”

“Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?”

“Semua saya serahkan Tuhan.”

“Maksudnya?”

“Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi  pegawai, buruh,   atau   tukang   bakso  juga.  Saya  percaya,  Tuhan mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan.”

Hardi  pernah  mendengar,   orang   Barat   yang   mengagumi Soedjatmoko  menganggap  bahwa  almarhum  adalah jenis orang yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi.  Ia  masih murni.  Kamin,  si  tukang bakso ini, iman dan takwanya juga murni, dan total.

Hardi sujud. Bijaksana  Pak  Kiai  mengirim  dia  ke  Kamin. Ketulusan  macam  Kamin  itu, memang, yang belum dimilikinya selama ini.

—————
Sumber: Editor, No.32/Thn.IV/27 April 1991