Dua puluh lima hari berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di bumi kinanah, Mesir, beberapa waktu lalu. Meski saya sudah mengunjungi banyak perpustakaan dan toko buku di negeri Piramid itu namun hati ini rasanya belumlah puas. Ada satu perpustakaan termasyhur yang sepertinya wajib dikunjungi oleh setiap pelacong seperti saya, juga mungkin Anda, nanti. Sebuah perpustakaan yang membuat saya terlena dan tertegun untuk beberapa saat.
Letak perpustakaan itu berada di kota Iskandariyah dan dengan nama itu juga perpustakaan itu disebut. Letak kota Iskandariyah kira-kira 208 Km barat laut kota Kairo. Senin, 1 Agustus 2005, hari masih pagi benar, saya sudah bersiap-siap berangkat ke kota itu bersama teman saya, Dararul A’la.
Nama Iskandariyah sebenarnya diadaptasi dari nama pendirinya, Alexander The Great (356 SM-323 SM). Dalam kepustakaan Islam, Alexander The Great lebih dikenal dengan Iskandar Dzulkarnain. Ia adalah putra Raja Makedonia, Philip II, yang dalam usianya yang belia telah menggantikan sang ayah dan berhasil menguasai benua Eropa, Afrika, dan Asia. Dan Iskandariyah merupakan salah satu wilayah kekuasaannya. The Great kemudian menjadi titel yang disematkan kepada salah seorang murid Aristoteles ini karena keberhasilannya menguasai wilayah yang begitu luas.
Bersama Dararul saya menuju stasiun Ramsis, terminal dan stasiun yang menghubungkan kota-kota di Mesir. Mungkin kalau di Jakarta seperti Blok M hanya kurang stasiunnya saja. Semula saya memilih jalur Kereta Api ekspres. Tapi apes, kereta api baru saja melaju. Akhirnya kami putuskan untuk naik bus saja. ’Abbud…’abbud..abbud…!, begitu kenek tramko yang melintasi lorong-lorong Ramsis menawarkan diri untuk mengantar ke terminal ’Abbud, Pulo Gadung-nya Mesir.
Tak lama kami tiba di terminal Abbud. Setelah turun kami langsung menuju bangunan berjejer terbuat dari triplek yang sarat tulisan Arab. ”Tamatta’ ma’ana fi safariyatina Ila Iskandariya, Mukayyaf/Fidiyu” (Nikmati perjalanan Anda bersama kami ke Iskandariya, fasilitas AC dan video), demikian salah satu tulisan yang terpampang di bilik tersebut. Bilik-bilik itu menjadi loket penjualan tiket.
”Bikam ya ’Am?” (Berapa taripnya?), tanya kawan saya. ”Itsnain ’Asyr Genih”, (£12/sekitar 24.000). Segera kami bayarkan sejumlah uang sesuai harga tiket. Usai dari sana kami pun bergegas naik bus. Namun lagi-lagi apes, bus pertama telah penuh. Saya harus bersabar menunggu antrian bus berikutnya. Persis jam 10.00 waktu setempat, bus West Delta melaju menuju Iskandariyah.
Pemandangan alam yang begitu menghibur mata terhampar sepanjang 4 jam perjalanan. Suguhan padang pasir dengan kebun pisang, kurma, dan jagung yang mempesona. Hijau dan menyegarkan di tengah musim panas yang menyengat. Jauh dari prasangka banyak orang bahwa padang pasir adalah simbol kegersangan.
Jam menunjukkan pukul 14:00. Bis memasuki Iskandariyah.
Untuk menuju perpustakaan Iskandariyah kami naik taksi. Dari jauh bangunan perpustakaan itu tampak elok. Lewat kaca pintu taksi saya menatap penuh ketakjuban. Untuk sesaat saya tertegun. Tak ada kata yang terucap. Taksi mendekat lalu berhenti. Perlahan kaki menapak di depan gedung.
”Inilah perpustakaan Iskandariyah itu,” suara Dararul menyadarkan saya. Di hadapan kami sebuah gedung berlantai sebelas, empat lantai di bawah tanah dan tujuh lantai di atasnya berdiri kokoh anggun. Seolah hendak mewartakan keagungan peradaban pada masanya dan masa kini, bahkan, mungkin, di masa mendatang. Di depannya ada tembok bertuliskan alfabet negara-negara dunia.
Dalam catatan sejarah, perpustakaan itu didirikan pada awal abad ke-3 SM pada masa pemerintahan Ptolomeus II. Dari istana sendiri inisiatif pembangunan perpustakaan itu muncul. Ia menandai semangat ilmiyah yang disponsori istana.
Namun, oleh karena berbagai konflik yang muncul, aset perpustakaan banyak yang hilang. Berulang kali terjadi pembakaran, bahkan sejarahwan menduga perpustakaan ini raib ketika Arab menaklukkan Mesir pada tahun 640 M.
Kini, gedung perpustakaan itu dibangun kembali dan dibuka untuk publik sejak Oktober 2002. Gedung yang bersebelahan dengan Universitas Iskandariyah (al-Jami’ah al-Iskandariyah) ini memang tua bila dilacak tahun berdirinya, namun begitu ”muda” bila dilihat dari bangunan dan arsitekturnya.
Saya akhirnya memasuki ruangan perpustakaan megah itu dengan pengamanan super ketat. Maklum, seminggu sebelumnya, Sharm Sheikh—kawasan wisata terkemuka di Mesir—menjadi sasaran bom teroris.
Warna bangunannya biru dengan bentuk segitiga sama kaki plus halaman yang luas. Di sana juga tersedia kafe. Sejuk ruangannya dengan penataan buku dan ruang baca yang apik, rapi. Ada juga fasilitas katalog online dan internet, semakin mengukuhkan keseriusan pelayanan perpustakaan ini. Dan yang terpenting adalah koleksi buku yang menampung ratusan ribu judul pustaka, di samping arsip-arsip yang ditulis di kertas papirus, serta peninggalan-peninggalan sejarah lainnya.
Hanya saja saya terhenyak. Pasalnya di beberapa tempat tampak rombongan travel sedang asyik melihat-lihat, ramai. Sepintas saya menyangka jangan-jangan perpustakaan ini lebih berfungsi sebagai tempat rekreasi dibanding sebagai ruang baca dan riset. Saya sendiri menjumpai beberapa mahasiswa yang dengan penuh konsentrasi menelisik jajaran buku. Namun jumlahnya tak begitu banyak.
Mudah-mudahan dugaan saya ini keliru. Mungkin hanya kebetulan saja saya menemui suasana demikian. Tapi bagaimana kalau benar adanya? Entahlah.
Di setiap tempat strategis saya jumpai tulisan mengenai larangan mengaktifkan ponsel, bahkan ada sanksi jika itu dilanggar. Mungkin untuk menjaga kenyamanan ruang baca yang sejatinya hening.
Hasilnya, selama kurang lebih 5 jam menikmati perpustakaan itu, saya tidak mendengar deringan ponsel. Tapi sayang, kebiasaan ngerumpi membuat suasana hening menjadi berisik. Bahkan lebih mengganggu dibanding deringan ponsel yang menjadi larangan. Nyaris tidak bisa dibedakan antara ruang baca dan pasar.
Sejatinya, perpustakaan tidak dijadikan ruang untuk bergemuruh, tapi berhening diri dalam konsentrasi yang utuh. Di sini saya temui suasana paradoks: perpustakaan yang ”mengharamkan” pengaktifan ponsel, tapi ”menghalalkan” gerumpi.
Mudah-mudahan dugaan saya ini juga keliru. Sekali lagi, mungkin kebetulan saja saya menemui suasana demikian. Tapi bagaimana kalau benar adanya? Entahlah.
Mata saya liar penuh kagum dengan berbagai koleksi buku. Saya ambil satu persatu, lalu duduk. Berdiri lagi dan berkeliling mencari buku lain. Terus dan terus. Saya semakin keasyikan. Hanyut. Luar biasa.
Saat saya masih terlena dalam cengkrama Iskandariyah, mata melihat jam di tangan menunjukkan pukul 18:25. Ah… waktunya pulang. Sedih dan berat untuk berpisah.
Segera saya menghubungi kawan yang lebih menikmati suasana di luar sana, dan kami pun bergegas menuju stasiun. Kali ini kami harus mengendarai kereta api ekspres setelah tadi pagi kami gagal. Alhamdulillah, tiket kereta api ekspres Iskandariyah-Kairo masih tersedia.
Sembari menunggu kereta yang akan tiba, saya keluarkan kamera digital untuk mengabadikan suasana stasiun yang tidak lebih baik dari stasiun Senen di Jakarta. Sesekali orang-orang menyapa kami dengan bahasa Inggris berlogat Arab, What’s your name? Where do you come from? Malaysia? Kami disangka turis. Kami pun tak mau kalah. Jepret, jepret, jepret. Tangan beraksi memainkan kamera digital layaknya kebanyakan turis. Enak juga.
Sepanjang perjalanan pulang, saya masih belum bisa melupakan pesona perpustakaan yang sarat sejarah itu, hingga mata merapat diserang kantuk di atas kereta.
Sebelumnya tulisan ini dimuat di Syir’ah 50