Telegram

Telegram

Telegram

Dalam sastra Indonesia saya mengenal dua karya dengan tema telegram di dalamnya. Pertama adalah puisi almagfurlah WS Rendra: Ada Tilgram Tiba Senja. Kedua, dua buah novel karya Putu, berjudul Telegram.

Keduanya bercerita tentang telegram, sebagai simbol berita yang mengejutkan, bisa menggembirakan tapi lebih banyak menyedihkan. Misal tentang berita kematian orang-orang yang kita cintai.

Dalam novel Putu Wijaya, telegram itu berisi berita ibunya yang sakit dan kemudian disusul telegram ibunya meninggal. Di penutup novel, Putu mengungkapkan bahwa pada dasarnya hidup itu menunggu telegram tentang orang-orang yang kita sayangi dan telegram tentang diri kita sendiri. Kira-kira begitu akhirnya.

Tak aneh kalau dulu orang sering cemas kalau mendengar pemberitahuan kalau ada telegram. Karena pasti ada berita yang menyedihkan bagi orangtua. Setidaknya kabar bahwa anaknya kehabisan uang saku.

Puisi Rendra, seperti Chairil Anwar, selalu ajaib di telingaku dan membuatku tak mudah jatuh cinta pada puisi-puisi terbaru. Salah satu yang kusuka adalah puisi yang bercerita tentang seorang anak laki-laki yang melesat pergi dari pelukan bunda, menaklukkan kota-kota, bertualang…

Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya

menghunjam ke rimba dan pusar kota.”

Tapi seberapa jauh pun is bertualang, ia akan kembali juga.

Saya ingat telegram ini lagi karena menteri komunikasi melarang “telegram”, suatu jenis aplikasi komunikasi sosial media sekarang ini karena katanya dipakai oleh teroris. Menyedihkan pandangan itu. Mengapa?

Sebab, kalau begitu Kita perlu juga melarang pisau dapur karena kemarin dipakai untuk menikam orang.

Berita tentang pelarangan “telegram” adalah isi telegram yang menyedihkan.