Mari sejenak kita merenung tentang hadirnya agama Islam di dunia ini. Untuk misi apakah Allah menurunkan Islam? Apakah Allah menurunkan risalah-Nya untuk menambah keagungan-Nya ataukah untuk kebaikan umat manusia?
Nama “Islam” sendiri berarti “keselamatan dan perdamaian”. Hal ini memberi pesan yang sangat jelas bahwa perdamaian adalah misi utama yang diemban oleh agama ini. Misi perdamaian ini terekam jelas dalam ibadah shalat. Shalat adalah salah satu ibadah utama yang bisa menjadi cermin benderang tentang pesan perdamaian dan kemanusiaan Islam. Shalat diawali dengan pengagungan kepada Allah (takbir/Allah Akbar), namun diakhirnya ditutup dengan pesan perdamaian kepada seluruh umat manusia (salam di akhir shalat).
Sejarah Islam dipenuhi dengan teladan dari tokoh-tokohnya tentang penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian sejati antarsesama umat manusia. Bahkan, dalam keadaan perang pun, tokoh-tokoh Islam tidak kehilangan kendali. Pesan perdamaian tetap menjadi pegangan karena perang dalam Islam tidak pernah bermakna agresi, tapi sekedar mempertahankan diri.
Tercatat dalam sejarah bahwa setelah penaklukan Mesopotamia, Zaid yang menjadi jenderal pasukan Islam memohon izin kepada Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri ke Khurasan. Sayyidina Umar dengan tegas menolak keinginan itu.
Umar menjelaskan pertimbangannya, “Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat, sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita. Demikian pula, kita tidak akan menyerang mereka.”
Hikmah indah dari peristiwa ini adalah bahwa perang bukanlah keinginan Sayyidina Umar. Perdamaianlah yang sesungguhnya didambakannya.
Kisah lain yang penuh teladan dari Umar terjadi pada tahun 634 M, ketika pasukan
Islam yang dipimpin oleh Khalid mengalahkan tentara Romawi di Yarmuk, Siria. Kaisar Heraklius dengan sedih terpaksa mundur ke Konstantinopel. Sementara, sebagian tentaranya lari mencari perlindungan ke benteng kota Yerusalem. Namun, Yerusalem juga akhirnya berhasil direbut oleh pasukan Islam setelah dikepung cukup lama.
Uskup Agung Yerusalem akhirnya menyerah dan ingin menyerahkan kota langsung ke Khalifat Umar. Umar pun berangkat ke Yerusalem dengan menunggangi unta, mengenakan baju sederhana, dan tanpa pengawalan pasukan kecuali seorang pembantunya.
Ketika dua pemimpin ini bertemu, terjadilah pemandangan yang ganjil itu. Kesederhanaan bertemu kemewahan. Namun, sisi dramatis lain adalah ketika Umar ditawari oleh sang Uskup untuk shalat di dalam Gereja Kebaktian dan Umar menolaknya. Alasan yang dikemukakan Umar sungguh mengharukan, dia tidak
ingin prajuritnya mengubah gereja menjadi masjid hanya karena Umar pernah shalat di dalamnya.
Umar, Sahabat Nabi pemberani itu dengan santun mengatakan, “Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya.”
Islam jelas tidak pernah mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia barbar
yang haus darah. Dalam setiap momen pengiriman pasukan, Umar selalu berpesan agar pasukannya tidak membunuh orang yang lemah dan menodai tempat ibadah. Ketika kaum kristen Elia menyerah kepada pasukan Islam, Umar menawarkan
perdamaian yang berbunyi demikian:
“Inilah perdamaian yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang non-Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah Tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan ibadahnya dan Tidak dianiaya dengan cara apa pun.”
Sejarah Islam mencatat teladan perang lain yang dilakukan oleh Muhammad al-Fatih, salah seorang Khalifah Utsmani. Peristiwa ini terjadi pada 27 Mei 1453 ketika pasukan Islam bentrok dengan pasukan Romawi dalam rangka merebut Konstantinopel. Yang mengharukan dari peristiwa ini adalah pidato al-Fatih di
hadapan pasukannya.
Layaknya pidato di depan pasukan sebelum perang yang berapi-api untuk membakar semangat juang pasukan, al-Fatih juga memotivasi pasukannya dengan penuh semangat. Namun, al-Fatih yang saat itu hanyalah seorang pemuda berusia 21 tahun tidak kehilangan arah, bahwa perang pun harus memiliki etika sehingga tidak menjadi tindakan yang merendahkan martabat kemanusia.
Melihat kembali sejarah peradaban Islam di masa lalu dan menemukan berbagai teladan agung dari para tokoh besarnya, membuat kita menjadi rindu terhadap Islam yang penuh damai itu. Agama yang penuh damai itu adalah Islam dipahat oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh para Sahabatnya yang memahami ajaran sang Rasul mulia itu.
Lalu, mengapa saat ini banyak kenyataan yang bertolak belakang. Teriakan Allah Akbar semestinya menjadi awal dari tindakan yang bermuara pada perdamaian untuk semua orang. Karena itulah pesan Nabi kita, itulah yang diteladankan oleh para tokoh junjungan kita, dan itulah makna sesungguhnya dari Islam.[]