Begitu melihat buku Belajar Islam di Amerika ada di bazar buku depan perpustakaan kampus, saya langsung mencomotnya. Bukan semata karena harganya murah, tapi karena nama penulisnya: Dr. H. M. Atho Mudzhar. Prof Atho, begitu biasa kami memanggilnya, adalah dosen saya dulu di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Beliau termasuk salah satu dosen yang amat disegani. Memasang standar yang amat tinggi untuk tesis dan disertasi, terutama pada mahasiswa yang dibimbingnya.
Buku Belajar Islam di Amerikaditebitkan Pustaka Panjimas tahun 1991. Secara garis besar buku itu bercerita pengalaman Prof Atho selama belajar di Amerika, lebih tepatnya di kampus UCLA (University of California, Los Angeles). Kisah di buku ini dimulai ketika Prof Atho tiba di Los Angeles 18 September 1986. Di bandara Los Angeles ia dijemput sejumlah kawan: M. Syafiq Mughni, Din Syamsudin dan Toha Hamim. Mereka adalah mahasiswa asal Indonesia yang juga sedang menempuh studi di UCLA.
Melalui buku itu kita diberitahu bahwa pada 1985 Menteri Agama Munawir Sjadzali pernah membuat program “Belajar Islam di Barat”, dengan mengirimkan dosen-dosen IAIN belajar di negara-negara Barat. Kebijakan itu tentu mengundang pertanyaan: kenapa untuk belajar Islam tidak ke Timur Tengah dan malah ke Barat? Pertanyaan serupa itu juga diterima Prof Atho ketika belajar di Amerika. Tapi menurutnya tidak ada yang salah dengan belajar di Amerika.
Prof Atho mengatakan, sejatinya ia tidak sedang belajar Islam dari orang Barat, tetapi mempelajari Islam menurut pandangan orang Barat. Di sana, referensi yang menjadi rujukan tidak semata karya para orientalis. Karya orang Islam tentu juga jadi rujukan.Mereka, misalnya, tak hanya membaca The Origins of Muhammadan Jurisprudence-nya Schacht tapi juga Al-Umm (Imam Syafii) atau Sirat (Ibnu Hisham). Artinya, dengan latar keseimbangan itu, diharapkan dapat diperoleh cara pandang yang objektif, kritis dan terbuka.
Selain itu, menurut Prof Atho, Barat mesti diakui memiliki tradisi keilmuan yang baik. Misalnya saja dalam hal penghargaan terhadap naskah-naskah tua. Lengkapnya koleksi yang dimiliki perpustakaan kampus-kampus di Barat juga merupakan satu alasan tersediri. Di samping sikap kritis yang jadi landasan sudut pandang.
Suka duka Prof Atho selama belajar di UCLA direkam buku Belajar Islam di Amerika.Salah satunya adalah cerita ketika mengambil mata kuliah “Arab sebelum Islam”. Perkuliahan yang diampu Prof. Michael G. Morony itu berdurasi tiga jam dan hanya diikuti tujuh mahasiswa. Mahasiswa diwajibkan membaca setidaknya 75-100 halamanbuku setiap pekan. Karena sedikitnya jumlah mahasiswa, malu sekali jika tidak mampu berpartisipasi aktif dalam diskusi di kelas. Kelas itu, kata Prof Atho, sangat melelahkan, kalau tidak siap dengan bacaan-bacaan wajib jangan coba-coba datang ke kelas, bisa pucat muka kita.
Nayatanya selama di UCLA Prof Atho tak hanya berkutat dengan buku. Prof Ato juga beorganisasi. Ia antara lain tergabung di Perhimpunan Mahasiswa Indonesia se-Amerika Serikat (Permias) dan Muslim Student Assosiation (MSA). Di Amerika, karena ada kesempatan, Prof Atho juga bermain golf, olahraga yang sering dianggap mahal.
Demikianlah, pada 5 Mei 1990 akhirnya Prof Atho kembali ke tanah air karen telah muntaskan studi. Ia menulis disertasidengan judul: Fatwa of The Council of Indonesia Ulama: Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Di Indonesia Prof Atho menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jika boleh membuat pengakuan, kenikmatan membaca buku Belajar Islam di Amerikarasanya hampir sama dengan membaca Hidup di Luar Tempurung (Benedict Anderson) atau Membedah Islam di Barat (Alwi Shihab). Kita jadi tahu bagaimana pengembaraan seorang sarjana tatkala belajar di negeri orang. Jejak intelektual seorang sarjana memang selalu menarik dikisahkan dan dibaca. Kisah-kisah yang memuat keteladanan.