Demikianlah Saudara-saudara kita bisa melihat Isra dan Mikraj ini sebagai penguatan batin kepada orang yang merasa dirinya kurang cukup untuk menjalankan suatu darma dan tugas memohon kepada Tuhan, Ya Allah, berikan kepadaku tambahan daripada kemampuan dan kekuatan. Saudara-saudara, sesudah Muhammad mendapat keyakinan akan adanya Tuhan, akan perintahnya Tuhan, akan Nurnya Tuhan, akan segala-galanya Tuhan, di Sidratul Muntaha itu Muhammad turun kembali.
Tentang saatnya, berapa jam, berapa menitnya, ya, ada macam-macam cerita, Pak Muljadi Djojomartono tadi mengatakan, dari isya sampai subuh. Ada juga cerita lain, tapi ini cerita dhaif. Dhaif artinya lemah. Siti Aisyah pernah cerita, -tapi ingat, ini lemah, dhaif, pernah cerita, bahwa Nabi pernah berkata kepadanya, hal Isra dan Mikraj ini, “Tatkala aku diambil oleh Jibril, diajak berjalan Isra dan kemudian Mikraj, saking gugupku, aku nyeggol (menyentuh) guci yang terletak di satu tempat tepi meja. Aku ikut jibril dan Mikail ke masjid yang jauh itu terus Mikraj ke Sidratul Muntaha dan kembali lagi. Dan tatkala aku datang kembali di rumahku, isi guci itu belum menyentuh tanah. jadi betul. betul sak cleretan, seperti dikatakan Pak Muljadi Djojomartono tadi. Bagaimana pun juga Saudara-saudara, ini adalah suatu mukjizat. Mukjizat dalam arti a wonder; a miracle, satu kejadian yang di luar ingatan manusia, kok orang bisa pergi ke tempat yang jauh, naik ke langit, turun lagi kembali lagi, baik di dalam waktu di antara Isya dan Subuh ataupun sekadar .mk deretan tersenggolnya guci sampai saat belum kenanya guci itu ke tanah.
Dan Nabi selalu berkata, ini harus aku ceritakan kepada umat. Kapten Said tadi berkata seperti examen, ya, lebih tepat jika dikatakan bukan seperti examen tetapi seperti satu testing. Sebab tepat sekali seperti di katakan oleh Kapten Said tadi, akan datanglah masa yang lebih sulit, akan datanglah satu masa bahwa umat Islam benar-benar akan diuji akan ke-Islaman-nya, akan imannya, akan keberaniannya, akan keteguhan batinnya Akan datang suatu saat nanti agama Islam akan bertempur di medan peperangan Dengan lawan-lawan daripada umat Islam untuk masa yang demikian itu diperlukan umat yang kuat batinnya. Maka oleh karena itu, sengaja cerita Isra dan Mikraj ini oleh nabi diceritakan kepada kawan-kawannya. Percayalah siapa yang percaya, kalau tidak percaya apa boleh buat. Tetapi bagi orang yang percaya, ini adalah suatu testing bahwa batinnya, benar-benar batin yang kuat.
Saudara-saudara kita pun sekarang ini menghadapi zaman yang dahsyat. Dahsyat tetapi gilang-gemilang, dahsyat tetapi seperti selalu aku katakan kepada pemuda dan pemudi Indonesia, kita pantas mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala bahwa kita dilahirkan zaman sekarang ini. Manakala orang-orang tua kita tidak mengalami kejadian-kejadian yang hebat, kita sekarang ini mengalami kejadian-kejadian yang hebat. Kita melihat peta dunia sama sekali berubah. Kita mengalami Perang Dunia yang pertama, kita mengalami Perang Dunia yang kedua, kita mengalami revolusi-revolusi luar negeri, kita mengalami kejadian. kejadian gugur, hancur lebur di dalam debu, kita mengalami Republik republik dibangunkan, kita mengalami sebagian besar dari Asia merdeka, kita mengalami satu sejarah yang hebat sekali, mengalami tanah air dan bangsa kita menjadi merdeka, mengalami bangsa kita berjuang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaan itu.
Di dalam waktu yang demikian ini Saudara-saudara, baik sekali kita merenungkan akan intisari dari Isra dan Mikraj itu tadi, penguat batin kita. Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dali nur iman yang sekuat-kuatnya. Bangsa yang menjalankan revolusi apalagi revolusi kita ini yang sehebat-hebatnya, revolusi itu sendiri adalah selalu berganti-ganti. Naik-naik tingkat, naik-naik Mikraj Saudara-saudara, daripada revolusi bersenjata menjadi revolusi pembangunan, revolusi untuk mencapai segenap cita-cita bangsa kita. Bagi bangsa yang menjalankan revolusi yang demikian Saudara-saudara, maka kekuatan batin adalah syarat yang mutlak. Dan ambillah, ambillah pengertian dan Mikraj itu, kenaikkan ke atas, naik ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Pendek kata, supaya mutu kita sebagai bangsa, sebagai manusia naik ke atas.
Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dan muka bumi. Beberapa kali saya sudah gambarkan candra sangkalanya, gugurnya Majapahit.
Sirna hang kertaning bumi, sirna ilang kerlaning bumi, sirna ilang adreng-nya masyarakat waktu itu. Itu membawa gugurnya Majapahit. Majapahit gugur sebelum orang Belanda datang ke sini, gugur sebelum Cornelis de Houtmant menjatuhkan ia punya sauh di Teluk Banten. Di dalam abad ke-15, Majapahit telah gugur. Apa sebab? Sirna hang kertaning bumi, sirna hang kerta daripada ia punya jiwa. Sirna hang ia punya kehendak, gadab, untuk naik, naik, naik, naik.
Sirna hilang ke Mikraj-an Saudara-saudara. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mikraj, ingin Mikraj, ingin Mikraj. Kita sekarang ini membelalak, membukakan mata kita laksana tepekur jika kita mendengarkan perkataan Sputnik, atau Explorer, atau satelit Matahari. Orang atau bangsa yang jiwanya jiwa Mikraj Saudara-saudara berkata, ya, sekarang Sputnik dipegang oleh orang lain, sekarang satelit dipegang oleh orang lain, sekarang Explorer dipegang oleh orang lain. Lain hari bangsa Indonesia akan mempunyai ia punya satelit. Demikianlah Saudara-saudara, bibit utama keberhasilan revolusi kita itu ada di dalam dada kita. Tetapi sebaliknya, jika kita tidak mempunyai jiwa yang demikian itu, Sirna hang kertaning bumi, kita. Kita dengan sendirinya, makin lama makin turun, makin lama makin merosot.
Saudara-saudara sekalian, saya sudah ngoceh setengah jam lebih. Terima kasih, moga-moga segala yang saya katakan ini membawa manfaat kepada diri saya sendiri, dan kepada Saudara-saudara sekalian.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
*Teks pidato ini disadur dari buku Islam di Mata Sukarno: Kumpulan Pidato Islam Bung Karno, terbitan GDN