Teks Khutbah Jumat pertama
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا رَبَّكُمْ الذَّيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَنِسَآءَ وَاتَّقُوْا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَالْأَرْحَامِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
Hadirin, jama’ah shalat Jumat yang dimuliakan oleh Allah ta’ala. teks khutbah jumat
Ucapan syukur marilah kita haturkan kepada Allah swt, Dzat yang telah melimpahkan nikmat karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tersanjugkan kepada Nabi Muhammad SAW, utusan yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Melalui mimbar yang mulia ini, khatib berwasiat kepada diri kami pribadi, dan umumnya kepada jama’ah kesemuanya untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ta’ala, yakni dengan cara menjalankan perintah-Nya, serta menjahui larangan-Nya.
Hadirin, sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah ta’ala.
Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu tantangan masyarakat Muslim adalah menguatnya ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Jika dilihat dari prespektif sosiologi agama, ekstrimisme dan radikalisme berpotensi menjangkiti semua pemeluk agama, tidak hanya Islam saja. Meskipun agama pada dasarnya tidak mengajarkan kekerasan dan kebengisan, akan tetapi harus diakui bahwa sebagian oknum umat beragama yang menjadi pelaku tindakan kekerasan dan teror sering menyandarkan tindakannya pada teks-teks suci agama. Sebagai misal ialah kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan jaringan-jaringan terorisme lainnya.
Dalam praktinya, mereka tidak segan-segan melakukan perengkrutan dan doktrinasi kepada generasi muda. Baik melalui lembaga pendidikan, buku, buletin, hingga kecanggihan teknologi internet. Dengan tafsir yang ektrim dan parsial, mereka menawarkan janji surga kepada pengikutnya, serta memberikan tuduhan kafir dan bid’ah kepada kelompok lain. Sehingga, kelompok di luar mereka dianggap sah untuk dijadikan sebagai musuh yang halal diperangi. Dalam konteks masyarakat Indonesia, lantas darimana kita memulai untuk menanggulanginya?
Hadirin, hafidhakumullah.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Tetapi kondisi ini tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Konsensus yang telah terbangun adalah republik. Dengan demikian, negara dan masyarakat harus mengayomi dan melindungi keragaman agama. Perbedaan harus disikapi dan diterima sebagai sunnatullah. Keragaman harus dijadikan sebagai ladang ibadah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sebagai umat Islam, kita memiliki tanggungjawab untuk turut serta menciptakan kondisi tentram dan damai. Dengan kondisi yang damai, sangat dimudahkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Di sisi lain, Islam dengan tegas menolak sikap terorisme, radikalisme, anarkisme, keberingasan, dan pengrusakan yang mengatasnamakan agama. Tidak lain, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan watak dasar Islam.
Kita sebagai kaum Muslim Indonesia yang menjadi mayoritas sangat mafhum bahwa Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara yang memiliki banyak agama serta suku bangsa. Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara juga mengambil intisari dari kitab suci al-Qur’an. Tokoh-tokoh pendiri bangsa, dengan berbagai latar belakang agama yang dianut telah bahu membahu berperan penting dalam mendirikan sebuah negara bernama Indonesia. Oleh karenanya, Indonesia bukanlah dimiliki oleh satu agama, tetapi dimiliki oleh semua agama.
Baik umat Islam maupun penganut agama lain harus berupaya memahami dan mengamalkan ajarannya masing-masing dalam bingkai merawat kemajemukan dan kemajuan Indonesia. Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat setiap agama pasti mengajarkan nilai dan budi luhur. Oleh karenanya, hidup damai dan toleran sudah semestinya menjadi komitmen bersama. Dalam konteks ajaran Islam, toleransi antar agama juga telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين (الكافرون: 6)
Artinya: “Untukmu agamamu, untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafirun: 6)
Umat Islam harus berupaya mewujudkan ajaran-ajaran mulianya guna berlomba dalam kebaikan, menciptakan keadaban publik, serta mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hal ini bisa dimungkinkan jika sikap toleran dan moderat menjadi prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak aneh bila terdapat hadis shahih yang diriwatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) dalam kitab al-Adab al-Mufrad dan kitab Shahih al-Bukhari, Rasulullah saw menyatakan bahwa agama yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah agama yang lurus dan moderat.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَىُّ الأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Shahabat Ibnu ‘Abbas ra, suatu ketika ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Agama apa yang paling dicintai oleh Allah?” Maka Rasulullah saw menjawabnya: “Agama yang lurus dan moderat.” (H.R. al-Bukhari)
Hadis ini mengabari pada kita bahwa Nabi Muhammad saw secara eksplisit menjelaskan posisi toleransi dan moderasi dalam Islam. Moderasi dan toleransi merupakan esensi Islam. Allah menciptakan manusia untuk dicintai dan saling mencintai. Kita mencintai makhluk berarti kita menghargai dan mencintai ciptaan Allah.
Dari penjelasan ini, kita bisa mengambil intisari bahwa toleransi dan moderasi telah dan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lingkup intra-agama dan antar-agama. Meskipun memiliki perbedaan konsep teologis, bukan berarti lantas membuat kita saling curiga dan bermusuhan. Sebaliknya, komitmen untuk berlomba-lomba berbuat baik untuk sesama haruslah menjadi konsensus bersama. Salah satunya ialah dengan memahami arti penting toleransi dan saling menghormati. Memahami toleransi berarti memahami Islam itu sendiri. Bahkan juga dapat dimaknai sebagai upaya memahami agama-agama lain karena agama-agama lain juga mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih, dan kedamaian.
Realitasnya, kesadaran toleransi belum sepenuhnya disadari sebagai misi beragama, sehingga sikap intoleran kerap dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Seakan-akan menjadi intoleran lebih mudah dibandingkan menjadi toleran. Sikap intoleransi tercermin pada tindakan kekerasan, perundungan, kata-kata kasar di media sosial, intimidasi, membakar rumah ibadah orang lain, dan tindakan terorisme sebagai puncak aktifitasnya.
Upaya membangun toleransi harus menjadi prioritas, terutama dalam konteks masyarakat yang majemuk. Pemahaman atas pentingnya toleransi mesti menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik. Hanya dengan itu, hidup kita berbangsa dan bernegara akan lebih bermanfaat. Agama akan sangat bermanfaat apabila berperan membangun nilai-nilai keadaban publik dan sosial.
Hadirin, sidang Jumat yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala.
Pada dasarnya, sikap moderat dan toleran adalah dua hal yang menjadi pijakkan dasar untuk hidup di tengah keragaman. Dengan dikembangkannya dua prinsip tersebut, kerjasama untuk membangun peradaban sangat dimungkinkan. Baik secara normatif maupun praksis, Nabi Muhammad saw sudah menekankan urgensinya. Risalah yang beliau dakwahkan tidak lain adalah sebagai penyempurna bagi ajaran-ajaran sebelumnya. Oleh karenanya, Islam datang bukan untuk merusak tetapi untuk memperbaiki dan menyempurnakan.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam riwayat hadis dalam kitab Shahih Muslim:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَثَلِى وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يُطِيفُونَ بِهِ يَقُولُونَ مَا رَأَينَا بنيَانًا أَحْسَنَ مِنْ هَذَا إِلاَّ هَذِهِ اللَّبِنَةَ فَكُنْتُ أَنَا تِلْكَ اللَّبِنَةَ (رواه مسلم)
Artinya: Diriwayatkan dari Shahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi-nabi terdahulu itu ialah ibarat seseorang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mengaguminya, seraya berkata: “Kita tidak pernah melihat bangunan yang lebih indah dari bangunan ini sebelumnya, hanya saja ada satu bata (yang belum diletakkan)”, satu bata tersebut adalah aku.” (H.R. Muslim)
Hadis ini penting dilihat dan masih sangat relevan dalam kehidupan. Nabi Muhammad saw mengibaratkan agama-agama sebelum Islam layaknya sebuah rumah. Rumah tersebut sudah dibangun. Ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad saw bukan untuk merusak atau menghancurkan rumah tersebut. Nabi bahkan meneguhkan kembali bahwa Islam hadir ke muka bumi untuk menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya.
Di Madinah, Nabi Muhammad saw telah mempraktikkan toleransi di tengah masyarakat yang plural. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Dimana perbedaan agama dan kepercayaan tidaklah menjadi penghalang untuk saling hidup berdampingan dan bekerja sama. Oleh karena itu, sikap dan keteladanan Nabi Muhammad saw ini mesti dicontoh dalam kehidup sehari-hari kaum Muslim. Tidak mudah menafikan keberadaan orang lain, penuh kasih sayang dan menghargai non-muslim.
Al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup Muslim, banyak menceritakan perihal sikap toleransi dan moderasi. Jika kita percaya pada isi serta kandungan al-Qur’an sebagai kitab toleransi semestinya kita memahami dan meresapi pesan-pesan toleransi yang terkandung di dalamnya. Selain itu, kita sebagai Muslim harus secara sadar dan aktif membumikan pesan-pesan toleransi al-Qur’an pada kehidupan nyata. Ajaran cinta kasih merupakan ajaran yang mendasar dalam agama-agama samawi terdahulu. Apa yang disampaikan al-Qur’an, pada hakikatnya hendak menyempurnakan dan melanjutkan ajaran yang mulia tersebut. Karena itu, meletakkan toleransi sebagai nilai utama dalam keberagamaan umat Islam merupakan salah satu upaya menghadirkan sesuatu yang fundamental dalam Islam.
Dengan menguatnya toleransi dan moderasi, masyarakat dan generasi muda tidak akan mudah untuk disusupi oleh doktrinasi gerakan-gerakan radikalisme, ektremisme, dan terorisme. Bahkan sebaliknya, masyarakat akan menjadi tembok kokoh untuk menangkal gejala pendangkalan agama tersebut. Agama yang menjadi petunjuk manusia, tidak mungkin bisa diterima jika di dalamnya mengajarkan kekerasan dan kebengisan. Tidak lain karena, agama adalah cahaya dan petunjuk bagi keadaban dan peradaban.
Semoga Allah ta’ala senantiasa memudahkan langkah kita.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِن الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَقُلْ رَبِّي اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خُيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
***
Teks Khutbah Jumat kedua
اَلْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ لله وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ، اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ، وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ اْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، اَمَّا بعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا الله تَعَالىَ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ وَمَا بَطَنَ وَحَافِظُوْا عَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ في ِالْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ سَيِّدِنَا أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ سَائِرِ أَصْحَابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ، اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ الله إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمِ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ.
Teks Khutbah Jumat ini disarikan dari buku “Teks Khutbah Jumat Kontemporer” yang diterbitkan secara bersama oleh The Political Literacy Institute, Convey Indonesia, PPIM UIN Jakarta, dan UNDP.