Awal tahun baru hijriyah 1442 (2020 M), harusnya menjadi awal yang baru bagi kita. Awal yang baru, hijrah untuk memulai hal baik yang baru dan belum pernah kita lakukan sebelumnya. Serta mengevaluasi hal lama yang perlu kita tinggalkan.
Teks Khutbah Jumat pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ، اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ بِرَحْمَتِهِ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ، فَعَرَفُوْا أَقْدَارَ مَوَاسِمِ الْخَيْرَاتِ، وَعَمَّرُوْهَا بِالْإِكْثَارِ مِنَ الطَّاعَاتِ، وَخَدَلَ مَنْ شَاءَ بِحِكْمَتِهِ، فَعَمِيَتْ مِنْهُمُ الْقُلُوْبُ وَالْبَصَائِرُ، وَفَرَطُوْا فِى تِلْكَ الْمَوَاسِمِ فَبَاءُوْا بِالْخَسَائِرِ.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَقْوَمُ النَّاسِ بِطَاعَةِ رَبِّهِ فِى الْبَوَاطِنِ وَالظَّوَاهِرِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ، أُوْصِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بَتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُوْنَ.
Hadirin, jama’ah shalat Jumat yang dimuliakan oleh Allah ta’ala.
Ucapan syukur marilah kita haturkan kepada Allah swt, Dzat yang telah melimpahkan nikmat karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tersanjugkan kepada Nabi Muhammad saw, utusan yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Melalui mimbar yang mulia ini, khatib berwasiat kepada diri kami pribadi, dan umumnya kepada jama’ah kesemuanya untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ta’ala. Dengan cara menjalankan perintah-Nya, serta menjahui larangan-Nya.
Hadirin, sidang Jumat hafidhakumullah.
Dalam sejarah Islam, hijrah adalah salah satu tonggak perjuangan yang sarat makna. Setelah 13 tahun mendakwahkan Islam di Makah, Nabi Muhammad saw beserta komunitas umat Islam pindah ke kota Yatsrib. Di kota yang kini dikenal dengan kota Madinah ini, dakwah Islam berkembang dengat pesat. Tak aneh bila, peristiwa hijrah dijadikan sebagai nama tahun bagi umat Islam, yakni tahun hijriyah. Salah satu kunci sukses dakwah ini adalah konsistensi masyarakat Muslim di Madinah berpegang pada nilai-nilai luhur universal yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, yang salah satunya ialah komitmen pada nilai keadilan.
Islam mengajarkan keadilan sebagai nilai-nilai yang fundamental dalam perikehidupan manusia. Keadilan menjadi salah satu ajaran utama yang disampaikan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah yang terakhir. Oleh karenanya, manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus senantiasa berlaku adil. Lebih dari itu, mereka juga harus berupaya menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Keadilan yang diajarkan Islam adalah keadilan yang meliputi sikap adil kepada berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan. Manusia yang diciptakan Allah sebagai khalifah fil ardh (perwakilan Allah di bumi) memiliki tugas mulia, yakni mengatur kehidupan di dunia ini dengan keadilan. Tidak hanya adil kepada manusia, tetapi juga terhadap semesta alam.
Sayyid Qutb (1906-1966) dalam karyanya yang berjudul al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) mengingatkan pentingnya keadilan sosial yang bersumber pada ketuhanan. Dalam pemaparannya, keadilan sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai ilahiyah adalah nilai yang harus senantiasa diperjuangkan dalam berbagai segi kehidupan. Bagi Sayyid Qutb, nilai-nilai Islam tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, bangsa, dan negara.
Secara tegas, Sayyid Qutb menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk mempertentangkan Islam dengan keadilan sosial. Islam telah menyediakan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan menegaskan adanya hak kaum miskin pada kekayaan orang-orang kaya. Islam menyediakan prinsip keadilan bagi tata kelola memegang kekuasaan dan kekayaan.
Hadirin, jama’ah yang dirahmati Allah ta’ala.
Keadilan seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang seimbang, tidak berat sebelah, dan tidak memihak. Dengan kata lain, keadilan bisa diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya, bersikap proporsional dan moderat. Keadilan mengharuskan orang selalu mengatakan kebenaran, memperlakukan orang sesuai dengan haknya, dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Murtadha Muthahhari (1920-1979) menyampaikan empat konsep mengenai keadilan. Pertama, adil bermakna keseimbangan. Masyarakat harus berada dalam keadaan seimbang. Segala sesuatu yang ada di dalamnya harus sesuai dengan kadar semestinya. Kedua, adil bermakna penafian terhadap segala pembedaan. Keadilan tercipta karena adanya persamaan hak dan kewajiban.
Ketiga, adil bermakna memenuhi hak-hak individu. Pemenuhan terhadap hak-hak individu akan menciptakan tatanan hukum dan keadilan sosial. Keempat, adil bermakna memelihara hak eksistensi manusia. Pemeliharaan terhadap eksistensi manusia akan menjamin keberlanjutan tatanan sosial yang berkeadilan.
Keadilan sosial dalam Islam tersebut bukan perhentian terakhir dalam tatanan masyarakat. Pembentukan keadilan sosial diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Suatu masyarakat yang langgeng dalam memperoleh kebahagiaan dan keberhasilan hidupnya, baik hidup di dunia maupun di akhirat.
Nilai-nilai keadilan sosial dalam Islam tersebut juga telah menjiwai tujuan pendirian negara Republik Indonesia dan dasar negara Pancasila. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan dilakukan dengan membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya, sila kelima Pancasila juga menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku harus memuat prinsip-prinsip dasar keadilan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. UUD 1945 disusun demi tujuan yang secara jelas menjadi perwujudan nilai-nilai keadilan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Suatu nilai dan aturan yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia yang beragam seperti yang tercermin dalam semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keadilan dalam Islam tersebut meliputi segenap aspek kehidupan, termasuk individu, sosial, ekonomi, budaya, hukum, politik, maupun pemerintahan. Tidak boleh ada diskriminasi dalam kehidupan. Kewajiban untuk adil bagi manusia yang beriman tidak hanya terhadap diri sendiri secara individual, namun harus adil pada semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hadirin, sidang Jumat yang dimuliakan Allah ta’ala.
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bertindak adil dalam kehidupan sosial masyarakat, penegakan hukum, maupun pemerintahan. Keadilan harus diterapkan sama kepada semua warga negara, tanpa kecuali, tanpa pandang bulu latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan.
Keadilan bahkan tidak hanya berlaku pada warga negara dalam satu bangsa. Nilai-nilai tersebut berlaku pada seluruh umat manusia, dari manapun latar belakang bangsa dan negara dengan segenap perbedaan yang menyertainya. Dalam aspek pemerintahan dan hukum, manusia beriman diperintahkan berbuat adil kepada siapapun.
Terkait hal ini, Allah swt berfirman:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (النساء: 85)
Artinya: “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa’: 58)
Keadilan yang diajarkan dalam Islam harus ditegakkan terhadap siapapun, bahkan terhadap diri sendiri. Dengan nilai-nilai ajaran tersebut, tentu tidak diperkenankan pula berlaku tidak adil karena melakukan pembelaan terhadap diri, keluarga, maupun saudara. Manusia beriman tidak boleh tidak adil hanya karena membela kaum, kelompok, suku, ras, ataupun partai politik. Manusia beriman tidak dibenarkan melakukan kebohongan dari kebenaran yang diketahuinya. Pembelaan dan keadilan harus ditegakan terhadap siapapun yang benar.
Dalam surat An Nisa’ ayat 135, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ (النساء: 531)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (Q.S. An-Nisa’: 135)
Perintah berbuat adil bagi umat Islam adalah benar-benar menjadi ajaran pokok dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, terhadap musuh, orang atau kelompok yang dibenci sekalipun, kaum Muslim dilarang berperilaku tidak adil terhadap mereka.
Dalam hal ini, Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (المائدة: 8)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8)
Sebagaimana disinggung di awal, bersikap dan berperilaku adil adalah salah satu ajaran yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad saw kepada Shahabat. Di dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa salah satu janji (baiat) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan komunitas yang masuk Islam adalah berkata dan berperilaku adil. Hadis ini termaktub dalam kitab al-Sunan karya Imam al-Nasa’i (214-303 H).
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْعَدْلِ أَيْنَ كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ (رواه النسائي)
Artinya: Diceritakan dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra, beliau berkata: “Kita berjanji (berbaiat) kepada Nabi Muhammad saw untuk berkata dengan adil, dimanapun kita berada. Di dalam agama Allah, kita tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.” (H.R. al-Nasa’i)
Hadirin, sidang Jumat yang dirahmati Allah ta’ala.
Betapa adil dan keadilan menjadi nilai dasar yang diperintahkan Allah kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Jika ada perilaku kaum Muslimin yang tidak adil, baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain, tentu perilaku tersebut tidak mencerminkan perintah dan ajaran yang ada dalam Al-Quran. Perilaku tersebut akan menjauhkan dirinya dari cinta dan kasih Allah. Sesuatu yang tidak mungkin diinginkan oleh manusia. Maka tidak heran, bila keadilan merupakan salah satu kunci diterimanya dakwah Islam di era keemasannya.
Jika umat Islam ingin menghidupkan kembali peradaban itu, tidak lain adalah harus dapat bersikap dan berperilaku adil. Hal inilah yang menjadi salah satu spirit yang dapat kita petik dari peringatan tahun baru hijriyah.
Semoga langkah kita senantiasa diberkahi dan dimudahkan Allah ta’ala. Amin ya rabbal ‘alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم.
Teks Khutbah Jumat kedua:
أَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ إِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَكَفَرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الْخَلَائِقِ وَالْبَشَرِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ، اَللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا اِلَّا غَفَرْتَهُ وَلَا عَيْبًا اِلَّا سَتَرْتَهُ وَلَا هَمًّا اِلَّا فَرَجْتَهُ وَلَا ضَرًّا اِلَّا كَشَفْتَهُ وَلَا دَيْنًا اِلَّا أَدَيْتَهُ وَلَا حَجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ اِلَّا قَضَيْتَهَا وَلَا مَرِيْضًا اِلَّا شَفَيْتَهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
عِبَادَ الله إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وِالْإِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Teks khutbah Jumat ini dimuat ulang dari buku “Khutbah Jumat Kontemporer: Mendakwahkan Islam Rahmatan lil Alamin” yang diterbitkan oleh Political Literacy bekerja sama dengan PPIM UIN Jakarta dan Convey.