Tartil Al-Quran dan Sholawat

Tartil Al-Quran dan Sholawat

Kewajiban dari kaum muslimin untuk memakmurkan masyarakat dan menciptakan keadilan, bahwasanya zakat diperuntukkan bagi orang fakir miskin

Tartil Al-Quran dan Sholawat

Jika berada di rumah, setengah jam sebelum waktu Subuh, penulis mendengarkan bacaan kitab suci Al-Qur’an (tartil) dari pengeras suara yang ada di Masjid al-Munawwaroh, di depan rumah. Pembacaan Al-Qur’an itu dilanjutkan melalui pengeras suara, sebelum dibacakan sholawat Nabi Muhammad SAW. Terkadang ayat bacaan kitab suci itu dikumandangkan oleh rekaman suara Syekh al-Khudzaifi, atau terkadang yang terdengar dibawakan oleh pembaca  Al-Qur’an (qori’/qori’ah) yang tidak penulis kenal namanya. Di saat itulah penulis meresapkan secara mendalam apa yang dimaksudkan oleh Allah dan harus penulis lakukan. Tentu saja ada yang menyangkut keyakinan aqidah, ada yang berisi kejadian alam, belum lagi yang menyangkut ibadah-ibadah dan sebagainya. Saat ini, hampir dalam dua bulan terkahir ini penulis mendengarkan “pesan-pesan sosial”.

 

Yang paling menarik dari pesan-pesan sosial itu, yang terpenting diantaranya adalah kewajiban dari kaum muslimin untuk memakmurkan masyarakat dan menciptakan keadilan. Pada waktu tulisan ini didiktekan, penulis baru saja mendengarkan ayat, bahwasanya zakat diperuntukkan bagi orang fakir miskin (Innama al-shadaqat li al-fuqara wa al-masakin). Jelas dari ayat ini Tuhan tidak menghendaki disparitas (ketidakseimbangan) antara mereka yang kaya dan yang miskin. Sikap seperti ini juga tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, yang kemudian diubah atau dicoba untuk dihilangkan dalam amandemen-amandemen, dengan alasan hal itu bersifat sosialistik. Ini tentu saja adalah sesuatu yang sangat aneh, bagaimana prinsip kesetiakawanan yang diambilkan dari kitab suci dikatakan sosialistik, padahal ia diwahyukan lebih dahulu belasan abad sebelum dirumuskannya sosialisme?

Dari keterangan di atas, dapat dilihat bagaimana para pemrakarsa amandemen itu tidak mengetahui bahwa pasal yang bersangkutan tidak hanya bersumber pada ideologi modern, melainkan juga dari kitab-kitab suci. Bagaimana kita dapat menerimanya, jika upaya melakukan amandemen itu didasarkan pada langkanya pengetahuan? Jelas upaya itu hanya dipengaruhi oleh sikap ingin menang sendiri, tanpa memperhatikan keharusan untuk mengangkat derajat mereka yang miskin. Karenanya, tanpa mengambil pendapat Jenderal TNI Purnawirawan Tri Sutrisno, penulis menolak amandemen yang dibuat tergesa-gesa. Mungkin saja amandemen itu dibuat untuk mencari dukungan bagi gagasan pasar bebas. Berarti dukungan bagi sistem kapitalistik yang mengutamakan persaingan individual, tanpa memperhatikan nasib pihak yang lemah.

Jelas dari apa yang diterangkan di atas, bahwa pengetahuan mendalam akan masa lampau kita sendiri, justru sangat diperlukan jika kita ingin agar kontinuitas (persambungan) ke masa depan tetap ada dalam sejarah kita sebagai bangsa. Kita tidak ingin memiliki sejarah yang melompat-lompat dari waktu ke waktu, dan dengan demikian tidak memiliki kejelasan sejarah yang berkembang di saat-saat yang saling berbeda. Umpama saja, gagasan negara federal bagi kehidupan kita sebagai bangsa, seperti diajukan oleh sementara pihak beberapa waktu yang lalu. Padahal keseluruhan konstitusi kita jelas tidak didasarkan kepada gagasan seperti itu. Dengan demikian, suatu bagian dari konstitusi itu sendiri menjadi saling bertentangan dengan bagian-bagian yang lain. Karena itu wajiblah kita mengetahui, bahwa kitab suci Al-Qur’an juga menjadi sumber bagi kehidupan kita sendiri di masa lampau. Dengan demikian, kita lalu menjadi tahu bahwa ideologi-ideologi modern hanya menjadi “pemberi warna” bagi dokumen-dokumen sejarah kita.

Seperti ketika lebih dari dua abad yang lalu, Jefferson merumuskan agar hak-hak individual manusia Amerika Serikat masuk dalam konstitusi negaranya, ia justru menggunakan istilah-istilah yang sudah umum dipakai, seperti kebebasan, kemakmuran dan lain-lain. Dengan demikian ia tidak bergerak dalam bumi kekosongan, melainkan mendasarkan gagasan-gagasannya pada hal-hal yang sudah umum diterima dan dipahami oleh keseluruhan masyarakat bangsanya. Itulah sebabnya, mengapa konstitusi Amerika dapat bertahan begitu lama pada bagian-bagian asasnya.

****

Jadi di situlah perlunya kita memahami tartil (bacaan kitab suci), di samping dokumen-dokumen lain dalam hidup kita di masa lampau. Ia memberikan pemahaman akan masa lampau kita sendiri melalui penafsiran-penafsiran kontemporer/masa kini.

Hal itu tentu berbeda dari bacaan sholawat nabi. Yang terakhir ini adalah pujian dan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak akan berubah sama sekali dalam perjalanan waktu. Karena itu, penulis belum begitu tertarik dengan rekaman sholawat Nabi Muhammad SAW, karena hanya berisi pujian-pijian dari doa-doa saja. Paling-paling hanya akan ditambah dengan keinginan manusia sendiri untuk selalu tetap selamat dan dipenuhi oleh Allah dalam keinginan-keinginannya, seperti keinginan untuk “mencapai cita-cita dan mendapatkan ampunan“ (balligh maqashidana waghfirlana ma madha) yang ada dalam sajak sholawat “al-Burdah”.

Jelaslah dari apa yang diuraikan di atas, tidak ada perubahan pengertian dari sholawat terhadap diri kita sendiri sebagai bagian dari umat manusia. Padahal kemampuan menangkap pengertian-pengertian yang akan berkembang terus-menerus dalam diri kita, maka akan diperoleh perubahan-perubahan pengertian itu. Itulah sebabnya, penulis lebih mementingkan arti bacaan Kitab Suci dari pada mengulang-ngulang sholawat nabi. Sebuah sikap yang tentunya tercermin dalam “kesenangan” mendengarkan kitab suci di pagi hari yang dingin, jika penulis berada di rumah (Ciganjur). Penulis yakin akan kebenaran pendirian itu.

****

Keseluruhan karya-karya para pemimpin masa lampau dan yang akan datang, menjadi sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan kita sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan kebersamaan yang kita miliki, umpamanya ucapan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang dikemukakan Empu Tantular dari jaman kerajaan Majapahit. Watak pandangan ini tetap ada dalam kehidupan kita sebagai bangsa, karena ia diulang-ulang dalam sejarah dan dilestarikan sebagai pandangan hidup berbangsa kita. Dengan demikian, menjadi bagian dari kehidupan kita sebagai bangsa. Proses seperti inilah yang seharusnya kita pahami dalam sejarah kita sendiri, seperti halnya nilai kasih sayang yang dibawakan oleh agama Kristiani dalam sejarah kita. Juga seperti kuatnya pengertian akan karma, yang diambilkan dari ajaran Hindu yang kita warisi dari jaman ke jaman.

Tentu saja masih banyak contoh lain yang tidak dapat dikemukakan dalam tulisan ini. Itu adalah bagian dari sejarah kehidupan bangsa dalam jangka panjang. Karenanya, kita harus menguasai dan mencerna begitu banyak fakta sangat beragam dalam kehidupan yang berkembang terus-menerus. Tentu saja, tidak semuanya dapat direkam secara lengkap, dan tiap orang warga negara juga akan memiliki pemahamannya sendiri, yang akan berkembang terus-menerus sebagai bagian dari kekayaan hidup bangsa itu sendiri. Tetapi yang terpenting, kita sendiri harus memahami pentingnya arti proses merekam yang kita miliki, demi masa depan yang sehat. Ini adalah bagian dari proses memelihara dan membuang yang harus kita lalui sebagai bangsa. Sedangkan memahaminya juga sebagai bagian dari proses melestarikan dan merubah, yang ada dalam perjalanan hidup manusia, bukan?

Sumber : Proaksi, Jakarta, 10 Juni 2005