Tari lengger merupakan tari tradisional yang biasanya dipentaskan oleh dua orang penari. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Penari laki laki memakai topeng dan yang perempuan memakai pakaian tradisional, seperti jarit, sampur atau selendang, dengan diiringi alunan musik gamelan, seperti bonang, saron, gong, kenong, kendang, dsp serta diselingi dengan tembangan-tembangan (syair) mengenai ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘alamin dan nilai-nilai kebaikan.
Menurut Eko Prasetyo, selaku pegiat seni Lengger, tari topeng atau Lengger merupakan kesenian khas masyarakat Wonosobo. Hal itu karena banyaknya grup kesenian tari topeng, atau biasa disebut tari lengger di Wonosobo. salah satunya grup “Mitra budaya” Garung yang digelutinya dalam melestarikan budaya leluhur.
Yoga Prihationo selaku budayawan Lengger Wonosobo mengatakan bahwa secara harfiah, tari lengger berasal dari dua kata yaitu le dan ngger. Le bermakna orang (laki-laki), sedangkan ngger bermakna geger (bikin gempar) para penonton, karena penari yang dikiranya perempuan ternyata malah laki-laki. Tari lengger mengingatkan manusia akan sangkan paraning dumadi.
Manusia hidup di dunia hanya diibaratkan seperti mampir ngombe (mampir untuk minum), yakni hanya sementara saja. Sebab dunia hanya sesaat dan bukan tujuan hidup, maka yang harus dikerjakan adalah menanam dan menanam. Yang ditanam tidak lain kecuali kebaikan, setelah itu akan kembali ke Gustinya, Allah SWT.
Dikisahkan pula bahwa Sunan Kalijaga menggunakan Tari Lengger sebagai perantara dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Pada masa itu tari tersebut sedang ramai di kalangan masyarakat sebagai tontonan dan hiburan warga. Sehingga mereka susah diajak ke masjid, apalagi untuk mendalami agama Islam. Mereka tidak tertarik. Oleh karena itu, dengan tetap mempertahankan tradisi dan budaya setempat, Sunan Kalijaga ikut menari untuk memperingatkan.
Sehingga, Tari Lengger juga bermakna ling atau iling dan ngger (sebutan untuk anak atau cucu dari orang tua) yaitu ilinga ngger yang maksudnya, ingatlah nak! bahwa nanti akan meninggal dunia. Sebuah nasihat orang tua kepada anak cucu agar selalu ingat (eling) kepada Allah Swt dalam setiap langkah dan perbuatan, dalam hal apapun. Tari lengger juga menyiratkan bahwa dalam laku hidup itu ambillah yang baik-baik dan buanglah perilaku yang buruk seperti yang digambarkan pada gerakan Tari Lengger.
Lakon Gondosuli misalnya, yang merupakan salah satu lakon atau jenis tarian dalam Tari Lengger. Lakon yang mensimulasikan seorang pendekar yang sedang mencari jati diri, tetapi yang dapat kita pelajari dari lakon ini adalah tentang metode dalam menyikapi hidup. Karena hidup ini mengalir dan bergetar, maka bagaimana caranya agar kita mampu menyikapinya.
Ketika masalah mendera, kita atasi dengan cara berjaga-jaga dan memasang kuda-kuda seperti yang diperagakan dalam gerakan lakon Gondosuli, yang harus tetap siap serta ingat(eling) kepada gusti Allah yang akan selalu menjamin setiap solusi bagi semua permasalahan, kita hanya bisa fokus berusaha dan berikhtiar.
Begitulah pagelaran Tari Lengger yang tidak hanya sebagai hiburan atau tontonan semata, namun juga sebagai tuntunan. Selain itu, Tari Lengger juga dapat menjadi sebuah media dakwah Islam di Jawa khususnya di Wonosobo dengan pendekatan budaya setempat tanpa menghilangkan budaya yang sudah ada.