TAP MPR Dicabut: Gus Dur, Nama Baik yang Tak Pernah Ternoda

TAP MPR Dicabut: Gus Dur, Nama Baik yang Tak Pernah Ternoda

TAP MPR Dicabut: Gus Dur, Nama Baik yang Tak Pernah Ternoda
Proses penjatuhan Gus Dur pict by Laduni

Baru-baru ini, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengumumkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 terkait pemberhentian KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden keempat Indonesia. Keputusan ini disebut sebagai upaya rekonsiliasi nasional dan pemulihan nama baik Gus Dur setelah dua dekade berlalu sejak Gus Dur lengser.

Namun, jika kita bertanya jujur: Apakah benar nama baik Gus Dur pernah ternoda? Dan apakah pencabutan TAP ini cukup untuk mengungkap kebenaran yang sebenarnya tentang Gus Dur?

Dari sudut pandang sosial dan kultural, nama baik Gus Dur tak pernah benar-benar bermasalah. Bahkan setelah dilengserkan dari kursi presiden pada tahun 2001, Gus Dur tetap dihormati sebagai tokoh besar yang memperjuangkan toleransi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Sejak itu, publik mengingatnya sebagai sosok yang melampaui jabatan presiden.

Gus Dur lebih dari sekadar seorang pemimpin politik; Gus Dur adalah seorang ulama, pemikir, dan pejuang demokrasi yang tanpa henti berjuang untuk kepentingan rakyat dan menentang ketidakadilan.

Ketika Sidang Istimewa MPR tahun 2001 digunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan Gus Dur, tuduhan-tuduhan seperti ketidakpatuhan pada DPR dan penerbitan Maklumat Presiden dimanfaatkan sebagai dalih formal untuk menjatuhkannya. Namun, dalam ingatan masyarakat, Gus Dur tak pernah kehilangan integritasnya.

Keberaniannya memperjuangkan hak-hak minoritas, membela pluralisme, dan menegakkan prinsip demokrasi telah menjadikan Gus Dur sebagai salah satu tokoh paling dihormati di Indonesia.

Pencabutan TAP MPR ini memang pantas diapresiasi sebagai pengakuan atas kesalahan politik masa lalu. Namun, secara realitas, langkah ini lebih bersifat simbolis daripada substantif.

Gus Dur tak pernah membutuhkan pemulihan nama baik dalam arti formal, karena rakyat selalu memandangnya dengan hormat. Dalam kehidupan sehari-hari, warisannya sebagai tokoh pembela demokrasi dan pluralisme sudah lama tertanam, meskipun ia dilengserkan dari jabatan presiden.

Namun, rekonsiliasi nasional tidak cukup dengan sekadar menghapus sebuah ketetapan formal. Langkah ini harus diiringi dengan pelurusan sejarah yang jujur dan terbuka tentang apa yang sebenarnya terjadi selama masa kepresidenan Gus Dur, terutama terkait tuduhan-tuduhan yang ditujukan padanya. Dalam buku saya, Menjerat Gus Dur (2019), saya telah menelusuri secara rinci intrik-intrik politik yang melingkupi pemberhentian Gus Dur.

Fakta-fakta yang saya ungkapkan dalam buku tersebut menunjukkan bahwa tuduhan korupsi terhadap Gus Dur tidak memiliki dasar yang kuat.

Sebaliknya, tuduhan-tuduhan ini merupakan hasil dari dinamika politik yang digunakan untuk mengakhiri masa jabatannya. Sejarah resmi harus mencatat dengan jelas bahwa Gus Dur tak pernah terlibat dalam praktik korupsi seperti yang dituduhkan oleh beberapa anggota DPR saat itu. Pemimpin yang bersih seperti Gus Dur tak sepantasnya dicemari oleh tuduhan yang hanya bersumber dari kepentingan politik sesaat.

Bukan hanya nama Gus Dur yang perlu dipulihkan secara formal, melainkan generasi muda Indonesia juga harus diajarkan kebenaran mengenai Gus Dur.

Baca juga; Efek TAP MPR Resmi Dicabut, Kebohongan yang Jatuhkan Gus Dur Jadi Presiden Kini Terbantahkan

Tuduhan korupsi yang dilontarkan saat itu harus dijelaskan secara terbuka sebagai bagian dari upaya politik untuk menyingkirkan seorang presiden yang berani melawan arus dan memperjuangkan reformasi. Pelurusan sejarah ini bukan hanya soal pengakuan pada seseorang setelah ia tiada, tetapi juga soal bagaimana kita sebagai bangsa belajar dari masa lalu dan mewariskan nilai-nilai keadilan kepada generasi mendatang.

Tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Dur, seperti dugaan korupsi dan tindakan inkonstitusional, digunakan untuk membangun narasi bahwa Gus Dur tak layak memimpin negara. Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa tuduhan-tuduhan ini tidak benar dan hanya menjadi alat politik untuk menjatuhkan Gus Dur.

Hal ini penting untuk diluruskan dalam sejarah kita, agar generasi penerus tahu bahwa Gus Dur adalah seorang pemimpin yang bersih dari korupsi.

Lengsernya Gus Dur bukan karena ketidakmampuannya, melainkan karena manuver politik yang dimainkan oleh elite yang merasa terancam oleh kebijakan-kebijakannya yang progresif.

Sejak awal, Gus Dur telah dikenal sebagai seorang pemimpin yang berani mengambil langkah-langkah kontroversial demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Langkah-langkahnya, termasuk pembubaran DPR melalui Maklumat Presiden, sering dianggap kontroversial, tetapi dalam konteks politik saat itu, tindakan tersebut bertujuan melindungi demokrasi dari ancaman oligarki yang semakin kuat.

Bahkan setelah lengser, Gus Dur tetap dikenang sebagai tokoh yang konsisten memperjuangkan keadilan sosial dan demokrasi, meski harus berhadapan dengan kekuatan politik besar.

Pencabutan TAP MPR ini adalah langkah penting, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan masalah rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi yang sejati harus disertai dengan pelurusan sejarah yang jujur dan adil. Selain pencabutan TAP, narasi resmi tentang sejarah Indonesia harus mencatat secara terbuka bahwa Gus Dur tidak terlibat korupsi dan bahwa lengsernya Gus Dur adalah hasil dari manuver politik elite, bukan cerminan dari kesalahan atau kelemahan kepemimpinannya.

Lebih jauh lagi, pelurusan sejarah tak hanya penting untuk Gus Dur, tetapi juga untuk peristiwa-peristiwa kelam lainnya dalam sejarah bangsa. Salah satu yang paling menonjol adalah tragedi Gestok 1965, yang hingga saat ini masih diliputi oleh manipulasi politik. Peristiwa ini, yang menjadi awal pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh komunis, adalah bagian dari sejarah yang perlu diluruskan.

Selama bertahun-tahun, rezim Orde Baru menciptakan narasi sejarah yang penuh dengan distorsi, menyisakan banyak korban pelanggaran HAM tanpa pengakuan atau keadilan.

Pelanggaran HAM berat lainnya di bawah rezim Suharto, seperti peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, serta kekerasan di Papua dan Timor Timur, juga harus diungkap dan dicatat secara adil dalam sejarah bangsa.

Gus Dur, selama masa kepresidenannya, telah mencoba memberikan pengakuan pada korban-korban tragedi 1965, meskipun upayanya terhalang oleh kekuatan politik yang berkuasa. Sebagai bangsa, kita harus melanjutkan usaha Gus Dur dalam mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut tidak terlupakan.

Oleh karena itu, pencabutan TAP MPR ini harus dilihat sebagai awal, bukan akhir. Gus Dur tak membutuhkan pemulihan nama baik, karena integritasnya selalu dijaga dalam hati masyarakat.

Yang dibutuhkan sekarang adalah pelurusan sejarah yang lebih luas, yang melibatkan peristiwa-peristiwa besar lainnya, seperti Gestok 1965 dan pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru. Hanya dengan pelurusan sejarah yang benar, kita bisa benar-benar menghormati warisan Gus Dur dan memastikan bahwa nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan pluralisme yang ia perjuangkan tetap hidup di masa depan Indonesia.