Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Selamat sore, permisi, saya mau bertanya, terimakasih jika sudah memberikan jawaban dan waktunya untuk menjawab pertanyaan saya, pertanyaan saya adalah :
Ajaran Islam dari tahun-tahun awal kepemimpinan 4 sahabat Muhammad, kekhalifahan Ummayah, Khalifah Abbasiyah, dan Turki Ustmani dipimpin secara autokrasi, atau semua keputusan untuk menyelesaikan masalah dalam negara/kekhalifahan ditentukan berdasarkan dari pemikiran pemimpin dan hasil diskusi dan musyawarah dengan pembantu-pembantunya, tapi kenapa orang-orang Islam sekarang menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan suatu negara seperti Indonesia yang kebanyakan orang Islam? Padahal demokrasi selama kekhalifahan Islam ada tidak pernah dipakai?
Wa’alaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh
Sedari awal kelahirannya, Islam memang tidak memiliki visi politik yang detil. Hal demikian dapat kita lihat pada produk fikih yang diproduksi oleh para ulama, baik generasi sahabat maupun generasi pasca mereka sampai saat ini, yakni tidak adanya aturan soal cara-cara memilih pemimpin yang pasti, sampai kapan batas periode kepemimpinannya, sejauh mana wewenangnya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya, sistem apa yang bisa digunakan untuk menopang pemerintahan.
Semua ini tidak dapat kita temukan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Sementara itu, secara pengalaman, bangsa Arab saat itu belum pernah mengenal sistem pemerintahan. Dulu sebelum Islam, mereka hidup bersuku-suku tanpa otoritas pusat. Masing-masing suku membanggakan leluhurnya, dan bahkan saling serang.
Namun menariknya, para ahli menyebut bahwa sistem yang digunakan saat itu dan saat Islam lahir ialah sistem demokrasi kekabilahan: semua suku sama, tidak ada otoritas yang tinggi. Ketua suku pun, di satu sisi tingkatnya lebih tinggi dan di saat bersamaan dia juga sama derajatnya dengan anggota sukunya. Maksudnya di sini, kepala suku pun bisa terkena kritik tajam dari sesama suku jika tidak becus mengurus sesuatu. Meminjam bahasa Abid al-Jabiri dalam Fikr Ibnu Khaldun: al-Ashabiyyah wa ad-Dawlah, kepala suku itu setara dengan anggota sukunya sekaligus di atas mereka karena mereka pemimpinnya (huwa ma’ahum wa fawqahum fi aanin wahid).
Jadi ringkasnya, kalaupun Islam memiliki sistem politik di masa kenabian dan khilafah, tentunya sistemnya tidak jauh-jauh, yakni sistem demokrasi kekabilahan.
Dengan sistem demokrasi kekabilahan ini, sistem pemilihan pemimpinnya bermacam-macam: ada yang diangkat dengan cara pemilihan umum seperti Abu Bakar, ada yang ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya dengan mempertimbangkan pandangan para sahabat lainnya seperti Umar bin al-Khattab, ada juga yang ditunjuk oleh yang sekarang kita kenal sebagai MPR; yakni Utsman bin Affan dan ada juga yang ditunjuk oleh rakyat secara langsung seperti Ali bin Abu Thalib. Jadi sistem pemilihan pemimpinnya macam-macam.
Dengan adanya cara pemilihan yang bermacam-macam ini, jelas bahwa Islam di awal kelahirannya dan bangsa Arab setelah masuk Islam sebenarnya tidak mengenal sistem yang baku dalam pemerintahan. Karena tidak adanya sistem pemerintahan yang jelas yang meliputi cara memilih pemimpin, batas periode kepemimpinan dan batasan wewenang pemimpin, di masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, sistem politik Arab-Islam ambruk.
Karena kosongnya preseden sistem politik Arab seperti ini, kelak di masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, diadopsilah sistem kerajaan yang dikenal bertahan lama di masa itu. Sistem kerajaan ini diadopsi dari kerajaan Bani Sasan alias kerajaan Persia. Al-Jahidz dalam kitab at-Taj menegaskan demikian. Dalam kitab ini, al-Jahidz mengatakan:
وعنهم أخذنا قوانين الملك والمملكة وترتيب الخاصة والعامة وسياسة الرعية وإلزام كل طبقة حظها والاقتصار على جديلتها
“Dari Bangsa Persia lah, kita mengadopsi sistem monarki/kerajaan dalam pemerintahan dan dari Persia, kita adopsi stratifikasi masyarakat menjadi dua; kaum elit dan masyarakat biasa. Dari Persia juga, kita adopsi sistem politik untuk mengatur rakyat dan penertiban strata social dari kelas bawah (rakyat) sampai kelas atas (kaum elit dan raja).”
Jadi simpulnya, sistem politik bangsa Arab saat itu mengadopsi sistem luar seperti Persia dan Romawi untuk mengatasi pertikaian umat Islam yang tak kunjung berkesudahan. Dan yang paling cerdas bisa membaca ini dan menerapkannya secara langsung ialah orang-orang Bani Umayyah seperti Muawiyah bin Abu Sufyan.
Sekali lagi, Bangsa Arab tidak memiliki preseden pengalaman soal mengurusi pemerintahan. Mereka dulu terkenalnya sebagai bangsa yang buta huruf dan terbelakang, dan tentu tidak melek politik. Penjelasan as-Syathibi tentang level kebudayaan Arab dalam kitab al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah bisa menjadi bukti kuat tentang ini.
Baru melek politik setelah Islam lahir karena Islam mengajarkan keterbukaan dengan dunia luar. Bangsa Arab jadi bangsa yang mengenal tradisi tulis dan karenanya mengenal peradaban, termasuk dunia politik. Jadi karena tidak memiliki sistem politik (termasuk di sini demokrasi kekabilahan) yang ampuh di masa itu untuk mengatasi konflik internal umat Islam, akhirnya sistem kerajaan Persia mengisi kekosongan yang ada. Diadopsinya sistem dari luar ini disebabkan karena di masa yang penuh konflik saat itu mengharuskan diambilnya sistem otoriter dan totaliter, dan itu hanya ada dalam sistem kerajaan Persia yang sudah kokoh dan baku.
Sistem kerajaan di masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah pun berbeda-beda. Pada awal masa Bani Umayyah, meski sistemnya ialah kerajaan, demokrasi kekabilahan masih tetap dipertahankan. Misalnya pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan, liberalisme politik ditegakkan benar-benar: raja boleh dikritik habis-habisan oleh rakyatnya sendiri.
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan bahwa Muawiyah pernah dicaci maki oleh kabilah tertentu di hadapan orang banyak. Di sini terlihat bahwa meski berkedudukan sebagai raja, Muawiyah layaknya orang biasa, bisa dikritik dan dimarahi dan itu tidak apa-apakan. Demokrasi kekabilahan dalam sistem kerajaan Bani Umayyah ini hancur di akhir-akhir masa pemerintahannya. Dan baru di masa Bani Abbasiyyah, secara total sistem politik Persia diadopsi dan dijadikan referensi untuk menopang sistem pemerintahan. Ciri dari sistem ini ialah penyamaan posisi raja dan Tuhan. Artinya, dalam sistem ini, mengkritik raja sama saja dengan mengkritik Tuhan. Sistem politik yang seperti inilah yang berkembang sampai masa kekhilafahan Turki Utsmani, dan mungkin sampai sekarang.
Sistem politik yang ada di Timur Tengah meski negaranya mengklaim sebagai sebagai negara demokrasi, otoritarianisme masih bertahan sampai saat ini. Sistem otoriter yang ada di negara-negara Islam seperti ini bukan warisan Islam, tapi warisan dari luar Islam yang kemudian dicarikan dalil-dalilnya agar tetap bertahan lama, dan akibatnya otoritarianisme dan totalitarianisme sangat mengakar dalam tradisi di Timur Tengah sana.
Jadi secara singkatnya, Islam Arab sebenarnya tidak mengenal sistem politik yang otoriter, adanya otoritarianisme ini bukan lahir dari jantung kebudayaan Arab Islam sendiri, tapi dari kebudayaan Persia.
Sistem politik Arab Islam yang pure itu ialah demokrasi, dan di masanya, para ahli menyebutnya, demokrasi kekabilahan (al-dimuqratiyyah al-qabaliyyah) namun sistem ini tidak ampuh untuk menghadapi konflik internal di masa khilafah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sehingga yang diadopsi ialah otoritarianisme Persia dari sejak masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Turki Ustmani, dan mungkin sampai sekarang, di Arab Saudi. Lalu mana sistem politik yang benar-benar Islami dan Arabi? Ya jelas sistem demokrasi. Dari sebelum Islam, bangsa Arab sudah mempraktikan demokrasi namun tidak bisa bikin teorinya seperti filosof-filosof Yunani karena mereka buta huruf.