Berdasarkan info yang berseliweran di berbagai media, terindikasi bahwa banyak vaksin yang terbuat tidak dari barang yang suci ataupun halal, namun terbuat dari barang yang najis atau haram. Khususnya untuk saat ini. Khususnya untuk vaksin COVID-19 yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah untuk diinjeksikan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Menanggapi beragam kabar semacam itu, apakah dirasa perlu Indonesia membuat vaksin yang dijamin kehalalannya?
Jawab:
Problematika vaksinasi di kalangan umat beragama di Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan barang yang baru. Sepertinya setiap kali pemerintah menggalakkan program vaksinasi apapun, selalu muncul bagian masyarakat yang menolaknya. Biasanya mereka ini disebut sebagai kelompok anti-vaksin. Terlebih saat ini ketika bangsa Indonesia bahkan dunia sedang mengalami pandemi COVID-19 dan sedang menggalakkan program vaksin untuk semua lapisan masyarakat. Penolakan dari sebagian masyarakat tetap ada dan salah satu isu penolakannya adalah karena “kabarnya” vaksin-vaksin tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa barang najis.
Mereka yang menolak vaksin karena beranggapan bahwa vaksin dibuat dari barang haram biasanya berargumentasi dengan dalih bahwasanya Rasulullah Saw. melarang pengobatan dengan barang yang najis atau haram. Mereka biasanya menyitir secara tekstual hadis berikut:
عبادَ اللهِ، تداوَوا، ولا تداووا بحرامٍ
Artinya:
“Wahai hamba Allah, berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud).
Atau dengan hadis ini:
إنَّ اللَّهَ لم يجعل شفاءَكُم فيما حرَّمَ عليكُم
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat dari yang Allah haramkan bagi kalian” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Syahdan, di zaman hidup Rasulullah SAW pun terdapat metode pengobatan dengan menggunakan khamr yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah dan beliau menjawab:
إنَّها ليسَت بدواءٍ ولَكنَّها داءٌ
Artinya: “
Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat, melainkan penyakit” (HR. Tirmidzi no. 2046).
Agar persoalan ini menjadi gamblang, penulis akan mencoba menguraikan secara bertahap dan terperinci:
Memang benar bahwasanya banyak sekali hadis yang melarang pengobatan dengan menggunakan barang najis atau haram. Namun harus diingat bahwasanya di kesempatan lain Rasulullah SAW juga sering memberi keringanan kepada umat untuk mengambil segala tindakan yang terukur dan diperlukan untuk meredakan sesuatu yang sifatnya darurat. Demikian juga Allah SWT dalam Alquran QS. Al-Baqarah: 173 berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pada ayat di atas, sesudah Allah SWT memberikan keterangan barang-barang yang dihalalkan untuk dikonsumsi, Allah kemudian menjelaskan bahwa ada dispensasi yang diberikan bagi mereka yang mengalami kondisi darurat untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut.
Jika dirasa bahwa ayat diatas hanya berlaku pada persoalan makanan, maka simaklah QS. Al-Anam: 119:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا ٱضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ
Artinya:
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
Ayat di atas sifatnya lebih umum, termasuk didalamnya adalah perihal pengobatan.
Dari kajian hadis dan ayat al-Qur’an di atas, bisa kita ambil pemahaman bahwasanya apabila ditanyakan apakah Indonesia perlu membuat vaksin halal? Maka jawabannya tentu saja perlu dan harus. Tentu saja jawaban ini tidak semata berlandaskan dalil-dalil diatas namun juga mempertimbangkan persoalan kemandirian kita sebagai bangsa yang besar dalam bidang farmasi dan kesehatan.
Keharusan Indonesia untuk membuat vaksin halal ini tidak lantas membuat kita tidak diperkenankan menggunakan vaksin sebelum vaksin halal buatan Indonesia itu selesai dibuat. Ada banyak pertimbangan terkait hal ini.
Pertama, kondisi darurat khususnya situasi pandemi mengharuskan kita untuk memanfaatkan apa yang ada untuk menanggulangi keadaan.
Kedua, berita bahwa vaksin-vaksin yang saat ini beredar itu terbuat dari barang najis dan haram sifatnya masih sebatas praduga sehingga selama belum tentu kebenarannya tidak bisa dijadikan sebagai pegangan.
Ketiga, bahkan jikapun terbukti bahwa vaksin-vaksin yang beredar saat ini terbuat dari barang najis dan haram, banyak ulama yang memperbolehkan hal demikian.
Dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz IX, h. 55 karya Imam Nawawi al-Baghdadi disebutkan bahwasanya melakukan pengobatan dengan barang najis selain khamr selagi kita belum menemukan obat lain yang halal:
وَأَمَّاالتَّدَاوِيْ بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرَ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيهِ جَمِيعُ النَّجَاسَاتِ غَيْرُ الْمُسْكِرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوْصُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنَّمَا يَجُوزُ التَّدَاوِيْ بِالنَّجَاسَةِ إذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُوْمُ مَقَامَهَا فَإِنْ وَجَدَهُ حَرُمَتِ النَّجَاسَاتُ بِلاَ خِلاَفٍ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ حَدِيثُ ” إنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ “.فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ وُجُودِ غَيْرِهِ وَلَيْسَ حَرَامًا إذَا لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنَّمَا يَجُوْزُ ذَلِكَ إذَا كَانَ الْمُتَدَاوِيْ عَارِفًا بِالطِّبِّ يَعْرِفُ أَنَّهُ لاَ يَقُومُ غَيْرُ هَذَا مَقَامَهُ اهـ
Artinya:
“Berobat dengan barang najis selain khamr itu diperbolehkan. Hal ini berlaku untuk semua jenis barang najis yang tidak memabukkan. Demikianlah pendapat madzhab (Syafi’i) disesuaikan dengan teks pendapat Imam Syafi’i sendiri. Pendapat ini dipastikan oleh mayoritas ulama. Ashab (pengikut) Syafi’iyah berkata bahwa boleh berobat dengan barang najis jika tidak menemukan barang suci yang khasiatnya sama. Apabila ditemukan obat dari barang suci maka haram mengkonsumsi obat dari barang haram tanpa perbedaan pendapat. Hal ini diarahkan pada hadis: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian berasal dari barang yang diharamkan bagi kalian”. Maka obat dari barang najis itu haram apabila ada obat dari barang suci, dan tidak haram jika tidak bisa menemukan obat lainnya. Ashab (pengikut) Syafi’iyah berkata bahwa hukum demikian berlaku jika ada rekomendasi dari dokter terpercaya bahwa tidak ada obat yang khasiatnya sama kecuali obat yang berasal dari barang najis”.
Pemaparan Imam Nawawi di atas bisa kita simpulkan bahwa selama kita tidak bisa menemukan obat dari barang suci yang khasiatnya sepadan, maka kita diperbolehkan mengkonsumsi obat dari barang najis.
Berikutnya yang juga penting dari pemaparan Imam Nawawi diatas, ialah bahwasanya pendapat yang bisa kita terima terkait dengan persoalan pengobatan ini ialah pendapat seorang dokter dan bukan pendapat-pendapat semabarang yang berseliweran khususnya di media sosial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Jika yang berpendapat adalah seorang pakar kesehatan atau dokter, maka meskipun doketr tersebut adalah dokter non-muslim, maka pendapatnya tetap bisa kita jadikan sebagai pegangan. Demikian disampaikan dalam kitab al-Syarwani, juz III, h. 183:
يجوز الاعتماد على طب الكافر ووصفه ما لم يترتب على ذلك ترك عبادة أو نحوها مما لا يعتمد فيه شيء ومنه الأمر بالمداواة بالنجس شرح م ر
Artinya:
“Boleh berpegangan pada (pendapat) dokter kafir selama tidak membuat kita meninggalkan ibadah atau sesamanya. Diantaranya ialah berobat dengan barang najis”.
Kesimpulannya, Indonesia memang perlu membuat vaksin halal sesegera mungkin. Namun, selama vaksin halal tersebut belum bisa kita produksi, kita masih diperbolehkan menggunakan vaksin-vaksin lain meskipun vaksin tersebut berasal dari barang najis. Prosedur pemberian vaksin ini harus berdasarkan rekomendasi dokter yang terpercaya, bukan berdasarkan pendapat lainnya.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT