Salah satu aspek yang mendapat perhatian utama dalam Islam adalah akhlak. Islam memang memuliakan orang-orang yang berilmu, bahkan mewajibkan semua penganut ajaran Islam untuk menuntut ilmu seperti disampaikan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Majah; “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap Muslim (baik perempuan maupun laki-laki),” namun Islam juga mensyaratkan akhlak untuk kesempurnaan ilmu.
Dalam Syarhul Hilyah Fii Thalabul Ilmi, syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, orang yang menuntut ilmu wajib menghiasi dirinya dengan akhlak, sebab tanpa akhlak, ilmu yang didapat tak akan memiliki faedah sama sekali. Kepandaian dalam bidang keilmuan tertentu tak akan bisa memberi manfaat secara maksimal jika tak diiringi dengan akhlak yang mulia, sebab akhlak adalah ruh utama untuk kebermanfaatan ilmu.
Para ulama jaman dahulu terbiasa mendahulukan dan memberi porsi lebih untuk belajar akhlak daripada ilmu. Salah satunya adalah Abdullah bin Mubarak yang bertutur dalam Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro,
“Saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama dua puluh tahun, dan mereka (para ulama) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu.”
Begitu pentingnya akhlak dalam Islam hingga rasulullah Muhammad menyebut dirinya diutus Allah bukan untuk tujuan lain selain untuk menyempurnakan akhlak. Dengan begitu, akhlak seharusnya tetap digunakan sebagai pijakan utama bagi setiap Muslim dalam melakukan berbagai hal, baik yang terkait dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.
Dilihat dari fungsinya, akhlak adalah pembeda untuk pintar dan benar. Orang yang berilmu tentulah pintar, namun jika tidak melengkapi dirinya dengan akhlak, maka tak ada jaminan kepintaran yang dimilikinya mampu mengantarkan pada kebenaran.
Sekalipun orang tersebut mengaku sebagai ulama, namun jika akhlak yang ditampilkan tercela, maka tak ada kebenaran yang bersemayam di setiap wejangan yang disampaikan.
Akhlak juga berfungsi sebagai benteng yang melindungi orang berilmu dari berbagai macam godaan. Sebab, orang berilmu tak akan pernah lepas dari godaan. Salah satu yang paling sering menghantui adalah kesombongan. Orang yang berilmu cenderung mengira dirinya sudah tahu segala, merasa kebenaran hanyalah apa yang keluar dari mulutnya.
Tanpa akhlak, orang berilmu hanya akan menjadi hantu; tak jelas wujud dan manfaatnya.
Padahal akhlak itu sangatlah sederhana; berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang dapat menyakitinya (baik fisik maupun hati) dan menahan diri ketika disakiti (Madarijus Salikin II/318-319).
Karenanya, selalu lengkapi diri kita dengan akhlak, sebab hanya dengan cara itu, ilmu yang kita miliki dapat memberi kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain.
Jadikan pula akhlak sebagai ukuran dalam menilai keilmuan seseorang, jangan sampai kita terperosok dalam lubang kelam akibat salah memilih panutan. Jika ilmu adalah cahaya, maka akhlaklah penyempurnanya.