Sejak awal kemunculannya melalui Youtube, Ustadz Abdul Somad atau lebih akrab disapa dengan UAS, termasuk dalam sedikit penceramah tanah air yang mampu membuat para jama’ahnya terpukau bahkan hingga tertawa terkekeh-kekeh. Selain gaya bicaranya yang berlogat melayu yang lucu, UAS dalam setiap ceramahnya juga tak pernah luput untuk melakukan akrobat dalil, baik hadis maupun al-Qur’an dengan sangat lancar. Dan yang demikian itulah yang membuat para jama’ahnya terpukau dan bersimpati kepadanya.
Akan tetapi, dalam perjalanan karir berceramahnya, kerap kali UAS melakukan kontroversi-kontroversi. Suatu waktu UAS pernah mendapat banyak kritik dari netizen terkait dengan komentarnya yang berbau seksis kepada artis Rina Nose saat melepas jilabnya. Selain itu, beberapa kali UAS juga menampilkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini dilarang oleh pemerintah karena mengusung ide khilafah.
Dari persoalan kedekatan UAS dengan beberapa tokoh HTI tersebut, kemudian menimbulkan pertanyaan dari kalangan islam moderat terkait komitmen pancasila dan kebangsaan UAS. Perihal mempertanyakan komitmen pancasila UAS tersebut dilatar belakangi oleh posisi UAS sendiri yang terlihat abu-abu dalam spektrum oposisi biner antara kelompok Islam Moderat yang membawa isu pluralisme dengan kelompok Islam Fundamentalis yang sering mengusung ide negara islam atau setidaknya NKRI bersyari’ah.
UAS sendiri pernah mendaku diri bahwa ia secara kultural dekat dengan NU. Akan tetapi, jika dilihat dari beberapa statementnya dalam beberapa kali ceramahnya, ia mempunyai kecenderungan ide politik yang bersimpati kepada upaya syariatisasi konstitusi. Dengan demikian tidak mengherankan jika beberapa ormas islam yang khittah di jalur pluralisme dan kebangsaan mempertanyakan komiitmen kebangsaan UAS.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu, ketika ia hendak mengisi ceramah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, ada beberapa organisasi yang mendaku pro kebangsaan melalui pihak kepolisian meminta panitia penyelenggara pengajian UAS untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada acara tersebut. Barangkali upaya tersebut bagian dari kegelisahan terhadap komitmen kebangsaan UAS tersebut.
Kalau dilihat dari ceramah UAS sekitar dua minggu yang lalu saat mengisi ceramah di acara HUT MPR RI di Senayan, UAS memberikan klarifikasi terkait kekhwatiran berbagai pihak terhadap komitmen kebangsaannya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai komitmen besar untuk menjaga kebangsaan dan Pancasila.
Dalam ceramah di MPR tersebut UAS juga menyampaikan bahwa negeri ini dibangun atas dasar keberagaman, baik agama, etnis, bahasa, hingga budaya. Bahkan, katanya pula bahwa kita semua harus tetap menjaga keberagaman agama yang ada di negeri ini. Dengan demikian, kabut gelap dari teka-teki komitmen kebangsaan UAS sudah sedikit terjawab.
Walaupun UAS sudah memberikan klarifikasi terkait dengan komitmen kebangsaannya, ada sedikit hal lain dari ceramah UAS di MPR beberapa waktu yang lalu itu perlu kita cermati dan kritisi. Sedikit hal tersebut adalah terkait dengan bagaimana UAS memahami istilah “keberagaman”. Dalam pemahaman UAS, keberagaman di Indonesia yang dibingkai Pancasila masih sebatas pada keberagaman agama dan etnis. Pemahaman UAS terkait dengan keberagaman belum sampai pada tahap keberagaman identitas yang universal sebagaimana yang menjadi pondasi dasar bagi keberagaman agama dan etnis.
Pemahaman UAS tentang keberagaman tersebut masih tergolong keberagaman sempit, belum sampai pada keberagaman universal atau luas. Padahal, Pancasila sendiri mempunyai komitmen terhadap keberagaman yang luas. Hal itu bisa dilihat dari sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila tersebut, pada dasarnya lahir dari ide kemanusiaan yang universal atau luas. Arti atau makna dari kemanusiaan universal tersebut berarti bahwa menghormati dan menghargai setiap perbedaan identitas yang ada pada manusia, tidak terbatas pada keberagaman agama dan etnis saja. Barangkali dalam istilah Islam, keberagaman universal ini disebut sebagai rahmatan lil alamin (rahmat untuk semuanya).
Pemahaman UAS terkait keberagaman yang masih sempit tersebut terlihat dari statemen dalam ceramahnya di MPR yang masih bersikap anti-antian terhadap kelompok LGBT. Padahal, LGBT sebagai sebuah identitas yang lainnya, sebagaimana identitas etnisitas perlu kita jamin pula keselamatannya yang secara filosofis telah dijamin konstitusi melalui sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sikap anti LGBTnya UAS tersebut ditakutkan akan menjadi landasan pihak-pihak tertentu untuk dijadikan dalil diskriminasi, persekusi hingga kekerasan fisik. Dengan demikian, pemahaman UAS terhadap makna keberagaman yang masih sempit tersebut mempunyai implikasi yang panjang dalam praktik kebangsaan kita.
Walaupun masih ada sedikit hal yang kita kritisi terkait dengan pemahaman keberagaman UAS yang masih sempit. Setidaknya dalam ceramahnya di MPR tersebut sudah memberikan klarifikasi terkait dengan pertanyaan kita semua atas komitmen kebangsaanya. Adapun terkait dengan kekurangan UAS dalam memahami makna keberagaman yang masih sempit, dapat kita harapkan dengan seiring perjalanan karir dan pergulatannya dengan kehidupan, ia dapat merenungkan kembali makna keberagaman secara lebih luas lagi. Wallahua’lam bisshawab.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja bias disapa melalui akun twitter @m_fakhru_riza