Saat saya masih di rumah, nenek seringkali menyentil dalam pelbagai pembicaraan (gosip bersama tetangga) tentang masalah hilangnya batas-batas moralitas keislaman sebagai sebuah tanda dari akhir zaman. Pada waktu itu mereka sedang membicarakan tentang banyaknya anak muda di lingkungan kami yang hamil di luar nikah.
Fenomena seperti itu di lingkungan kami kian hari semakin marak terjadi dan menjadi keprihatinan umum. Dan secara berulang-ulang nenek selalu mengatakan itu adalah tanda akhir zaman atau kiamat.
Di waktu yang lain, ketika sedang ramai-ramainya kabar adanya ramalan akan terjadinya kiamat di tahun 2012 yang lalu, nenek tiba-tiba menyeritakan tentang pengalamannya di tahun lampau tentang ramalan serupa di kisaran tahun 1990 an, persisnya saya lupa.
Ceritanya, di tahun 1990 an itu, di sekitar daerah kami, di Lampung, ada kabar kalau akan terjadi kiamat. Nenek tidak menjelaskan secara detail seperti apa wacana pada waktu itu, akan tetapi menurutnya semua orang di kampung kami sudah berkumpul di lapangan desa untuk beristighotsah (doa bersama) yang dipimpin oleh para kiai pesantren di lingkungan kami.
Kemudian, setelah saya tumbuh kian berumur ini, slentingan-slentingan tentang kabar kiamat sudah dekat ternyata bukan hanya monopoli milik nenek saya bersama warga kampung lingkungan kami saja. Bahkan orang-orang Amerika Serikat pun juga banyak yang percaya dengan ramalan Suku Maya dari Indian, Amerika sana bahwa 2012 akan terjadi kiamat, akhir dari segala kehidupan di dunia.
Bahkan beberapa tahun yang lalu, kalau tidak salah, di salah satu stasiun televisi swasta tanah air juga ada entah serial sinetron entah juga film yang berjudul “Kiamat Sudah Dekat”. Persis tokoh yang saya ingat adalah Kipli, seorang anak yang akan tumbuh dewasa, ia hidup di perkampungan kumuh di kota Jakarta. Lingkungannya penuh dengan kemaksiatan; copet, seks bebas, judi, mabuk-mabukan, dan tentu saja kemiskinan akut.
Rupa-rupanya tentang isu tentang akhir zaman ini memang diyakini oleh hampir semua umat manusia yang menembus batas-batas agama, suku, negara dan kawasan. Tapi sebenarnya apakah benar-benar akan terjadi apa yang ditakutkan oleh banyak orang itu?
Di suatu sore, ketika saya sedang mengaso (istirahat) setelah makan sore, saya secara spontan mencari video dialog filusuf dan psikoanalis dari negeri Slovakia, Slavoj Zizek di aplikasi yutub saya. Di video yang saya buka itu filusuf Zizek sedang berdialog dengan Riz Khan, seorang presenter TV Aljazera di Washington DC.
Bagusnya iklim kebebasan pers di televisi Barat, pembicaraan tentang tema-tema yang sensitif dapat dengan ringan saja di bicarakan dan didialogkan di televisi. Dialog itu menariknya diberi judul yang kira-kira mirip dengan kegelisahan soal kiamat di awal tadi, We are Living in The End Times? Judul yang sangat mengerikan, “apakah kita hidup di akhir zaman?”.
Bagi Zizek, menurutnya kita benar-benar hidup di akhir zaman. Menurutnya dunia kalau kita biarkan begitu saja seperti saat ini, dunia akan hancur dan musnah. Apa yang membuatnya hancur? Menurut Zizek adalah perubahan iklim yang gila-gilaan yang disebabkan oleh hasrat kapitalisme yang tak pernah puas dengan nafsu ekspansi bisnis dan akumulasi dengan mengabaikan kelestarian bumi.
Sepertinya benar juga yang dikatakan Zizek bahwa perubahan iklim sedang mengancam kehidupan kita semua di bumi. Hampir setiap hari, di lini masa media sosial saya, akun-akun gerakan lingkungan Green Peace ataupun Mongobay menceritakan kabar tenatang kerusakan lingkungan yang terus terjadi.
Kabarnya gunung es di Antartika setiap hari terus meleleh dan dampaknya volume air laut semakin besar. Implikasinya, secara berangsur-angsur air laut akan menenggelamkan banyak pulau yang saat ini sedang dihuni oleh banyak manusia, termasuk Kota Jakarta, kabarnya.
Dengan demikian, bukti-bukti ilmiah kemungkinan semakin dekatnya hari akhir memang benar-benar terjadi. Gunung es di Antartika terus mencair, hutan semakin gundul, satwa semakin punah, dan cuaca kian tak terprediksi. Dengan demikian, hidup kita manusia semakin terancam.
Pada dasarnya, prediksi para ilmuwan tentang kondisi akhir zaman saat ini dengan menyebutkan gejala perubahan iklim tadi, secara substansi mirip dengan keresahan yang disampaikan oleh nenek saya tadi, yakni kita benar-benar berada di akhir zaman.
Walaupun nenek dan para tetangga di kampung saya menyebutkan bahwa tanda-tanda akhir zamannya adalah fenomena semakin dilanggarnya moralitas keislaman, pada dasarnya demikian itu hanyalah artikulasi permukaan saja.
Nenek, sebagaimana orang Jawa generasi lampau yang sehari-hari di didik dengan Islam tradisionalis yang didapatnya dari keaktifannya di pengajian rutin Muslimat NU di kampung, memiliki kepekaan yang dalam soal keadaan lingkungan dan cuaca yang terus berubah ini. Pasti nenek merasakan 80 tahun lalu dunia tak sepanas hari ini.
Dengan demikian, nenek sebagaimana Slavoj Zizek adalah orang-orang tua yang memberikan nasihat bahwa dunia kita jika kita teruskan dengan mengabaikan ekologi, sebagaimana hasrat-hasrat kapitalisme yang tak pernah puas, dunia dan kehidupan kita semua akan segera musnah.
Bedanya, Zizek mendapat kepekaan ekologisnya dari filsafat dan ilmu pengetahuan Barat, sedangkan nenek dari keaktifannya dalam pengajian rutin Muslimat NU di daerah saya. Walaupun beda sumbernya, tapi yang penting adalah substansinya sama, kita berada di akhir zaman.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.