Setiap Rasul membawa ajaran sama, yaitu Tauhid. ‘Tuhan itu satu’ bukanlah persoalan matematis sehingga satu bermakna bukan dua, tiga, dst. Tuhan itu satu berarti selain-Nya bukan Tuhan. Inilah intinya.
Tauhid juga tidak sekedar meyakini bahwa Allah itu Tuhan, tapi lebih tegas lagi meyakini bahwa hanya Allah itulah Tuhan. Menuhankan Allah dan hanya menuhankan Allah itu beda, ya.
Implikasi dari hanya menuhankan Allah dalam kehidupan kongkrit inilah yang membuat panggung sejarah para Rasul gegap-gempita. Allah itu berkuasa secara mandiri (Qiyamuhu binafsihi), maka manfaat hanya menuhankan-Nya pasti kembali pada manusia dan makhluk lainnya.
Hanya menuhankan Allah itu artinya tidak akan menghalalkan segala cara terlarang demi tunduk mutlak pada apapun, baik harta, kekuasaan, libido, maupun lainnya; atau pada siapapun, baik bos, pimpinan, orangtua, suami, bahkan budak pada pemiliknya saat sistem perbudakan masih ada kala itu. Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam ma’shiat pada Khaliq.
Karenanya, jati diri manusia hanya sebagai hamba Allah ini paralel dengan amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl. Manusia punya mandat melekat untuk mewujudkan kemaslahatan di muka bumi.
Tauhid kita pada Allah yang punya daya dorong kuat untuk melahirkan kemaslahatan dan punya daya tahan kokoh dari berbuat mafsadat (kerusakan) pada makhluk-Nya, inilah yang disebut dengan Taqwa. Taqwa juga bisa dimaknai dengan iman kepada Allah yang mendorong prilaku baik (amal shaleh) dan mencegah prilaku buruk kita pada makhluk-Nya.
Jadi Taqwa tidak hanya ditentukan oleh hubungan baik kita dengan Allah, tetapi juga hubungan baik kita dg makhluk-Nya. Allah mengingatkan bahwa orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertaqwa (al-Hujurat/49:13) dan Rasulullah Saw mengingatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Tidak heran jika banyak sekali ayat dan hadis yang menghubungkan taqwa dengan relasi antar hamba.
Salah satunya, QS. Al-Maidah/5:8, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kualitas ketaqwaan kita pada Allah ditentukan oleh sejauh mana kita bisa tetap adil pada manusia terutama pada orang yang kita benci.
Rasulullah SAW bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan istri, karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah.” (Muttafaq alaih)
Kualitas ketaqwaan seorang suami ditentukan oleh sikap baiknya pada istri selama perkawinan. Demikian pula sikap baik istri pada suami juga menentukan ketaqwaannya pada Allah. Keduanya diminta untuk terus bergaul secara bermartabat (muasyarah bil ma’ruf), bahkan ketika sedang benci (An-Nisa/4:19).
Semoga kita semua bisa terus menjaga ketaqwaan pada Allah dalam setiap tindakan kita kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan sebagai apa saja. Semoga juga bisa selalu memastikan tindakan kita bermanfaat buat diri sendiri sekaligus pihak lain seluas-luasnya. Aamiin.
Wallahu a’lam bish Shawab.
Pamulang, 2 April 2019
Salam hangat,
Nur Rofiah (fb)
nrofiah (ig)
n_rofiah (twitter)