Takdir Mubram dan Takdir Muallaq

Takdir Mubram dan Takdir Muallaq

Takdir Mubram dan Takdir Muallaq

Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, kitab al-Adab, bab Man Busitha lahu fii ar-Rizqi li Shilat ar-Rahim, berkata:

“Hadits

مَن سرّه أن يبسَـط له في رزقه وأن يُـنسَـأ له في أثره فليصِل رحمِـَه

“Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan/ditambah umurnya, hendaklah menyambung tali shilaturrahim”.

Ibn at-Tin berkata, secara lahir, hadits ini bertentangan dengan ayat

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Jika ajal mereka telah datang, maka mereka tidak akan mampu menundanya ataupun mempercepatnya sesaatpun” (al-A’raaf: 34)

Lalu, bagaimana cara mengompromikan dua dalil di atas? Setidaknya ada dua penjelasan yang dapat dikemukakan dalam memadukan antara keduanya:

Pertama, Penambahan umur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah kinayah [bukan makna sebenarnya] mengenai keberakahan usia disebabkan orang tersebut diberi petunjuk (taufiq) dalam melaksanakan ketaatan dan mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya kelak di akhirat nanti,  sekaligus ia terjaga dari tindakan menyia-nyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.

Hal ini sepadan dengan apa yang ada dalam satu hadits Nabi bahwa usia umat Muhammad lebih pendek dibandingkan dengan usia umat-umat terdahulu. Maka, sebagai gantinya Allah menganugerahkan kepada mereka Lailatul Qadr (sebuah malam yang kebaikannya melampaui seribu bulan).

Penjelasan pertama ini dapat disimpulkan bahwa bersilaturrahim menjadi sebab bagi seseorang memperoleh taufiq (kemampuan berbuat taat) dan menjadi lantaran ia terjaga dari maksiat. Dengan demikian, keharuman namanya akan tetap terjaga meski ia telah meninggal. Di antara yang ia peroleh — dengan sebab taufiq yang Allah berikan padanya– adalah ilmu yang bermanfaat sepeninggalnya, sedekah yang pahalanya mengalir (amal jariyah) dan keturunan yang saleh.

Kedua, penambahan usia, seperti yang disebut dalam hadits di atas, maknanya adalah bermakna haqiqi (makna sebenarnya bukan kinayah sebagaimana penjelasan pertama). Namun, yang dimaksud penambahan usia dalam maknanya yang hakiki itu adalah yang terkait dengan ilmu malaikat yang ditugasi oleh Allah mengurusi umur. Adapun yg dijelaskan ayat bahwa ajal tidak dapat dimajukan maupun ditunda, maksudnya adalah yang terkait dgn ilmu Allah.

Sebagai missal, dikatakan kepada malaikat, bahwa usia Fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim, dan jika memutus silaturrahim usianya hanya 60 tahun. Sedangkan Allah telah mengetahui pada azali [azal: ada tanpa permulaan] bahwa Fulan itu akan bersilaturrahim ataukah tidak.

Jadi, apa yang menjadi ilmu Allah tidak berubah. Sedangkan yang mungkin menerima penambahan maupun pengurangan adalah yang ada dalam ilmu malaikat. Hal itu diisyaratkan oleh firman Allah SWT:

يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ

“Allah SWT menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan pada-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)” (ar-Ra’d: 39)

Penetapan dan penghapusan terkait dengan apa yang ada dalam ilmu malaikat. Inilah yg disebut Qadla’ Mu’allaq (takdir atau kepastian yang masih bisa berubah). Dan apa yang ada dalam Umm al-Kitaab, hal itulah yang ada dalam ilmu Allah. Tidak ada penghapusan sama sekali. Inilah yang disebut Qadla’ Mubram (takdir atau kepastian yang tetap).

 

Wallahu A’lam bis-Shawab