Jakarta, Islami.co – Pemerintah Tajikistan baru saja mengesahkan aturan yang melarang penggunaan “pakaian asing”. Termasuk yang terdampak oleh aturan larangan ini adalah penggunaan atribut keagamaan, seperti jilbab, turban, dan sebagainya.
Para pelanggar aturan yang baru disahkan pada 19 Juni 2024 itu akan dikenakan dana takzir, mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (sekitar 12 juta rupiah) untuk warga biasa, 54.000 somoni (82-an juta rupiah) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar 87-an juta rupiah) jika dilakukan tokoh agama.
Di Tajikistan, pemerintah presiden (seumur hidup) Emomali Rahmon memang telah lama mengarah pada ideologi sekuler, hingga menargetkan apa yang mereka gambarkan sebagai ekstremisme.
Setelah kesepakatan damai untuk mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 1997, Rahmon (berkuasa sejak 1994) mengklaim menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP), partai oposisi yang diberikan serangkaian konsesi.
Menurut kesepakatan yang dimediasi oleh PBB, perwakilan dari TIRP pro-Syariah akan berbagi posisi sebanyak 30% dari pemerintahan. Dan, eksistensi TIRP juga diakui sebagai partai politik pertama pasca-Soviet di Asia Tengah yang didirikan berdasarkan nilai-nilai Islam.
Seribuan Masjid Ditutup dalam Setahun
Dalam perjalanannya, Rahmon mendepak TIRP dari kekuasaan, meskipun partai tersebut menjadi lebih sekuler dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2015, ia kemudian membubarkan TIRP sepenuhnya dan menetapkannya sebagai organisasi teroris. Alasannya adalah partai tersebut dianggap terlibat dalam upaya kudeta yang gagal, walaupun telah menewaskan Jenderal Abdulhalim Nazarzoda, seorang birokrat penting pemerintah.
Pemerintah Rahmon kemudian mengembangkan wacana bahaya laten ekstremisme terhadap warganya dengan, salah satunya, menyasar situs-situs dan atribut keagamaan, utamanya Islam.
Setelah pertama kali pemerintah Tajikistan melarang penggunaan hijab di institusi publik, termasuk universitas dan gedung pemerintah, pada tahun 2009 rezim yang bermarkas di Dushanbe ini mendorong sejumlah aturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga mempengaruhi, tetapi juga memperkuat kontrolnya atas negara tersebut.
Meskipun tidak ada pembatasan hukum pada jenggot di Tajikistan, beberapa laporan menyatakan bahwa penegak hukum secara paksa mencukur pria yang memiliki jenggot lebat karena dianggap sebagai tanda potensial pandangan keagamaan ekstrem seseorang.
Juga, UU Parental Responsibility (mulai berlaku pada tahun 2011) dimaksudkan untuk menghukum orang tua yang mengirim anak-anak mereka belajar pendidikan agama di luar negeri. Menurut undang-undang yang sama, mereka yang berusia di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.
Pernyataan Komite Urusan Agama Tajikistan pada tahun 2017 menyatakan bahwa 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun, dan tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat medis.
Negara dengan Perhatian Khusus
Serangkaian undang-undang terbaru menyangkut situs keagamaan Islam itu kabarnya didorong oleh aksi teror mematikan di Crocus City Hall di Moskow pada bulan April 2024.
Empat dari penyerang ditangkap oleh penegak hukum Rusia. Mereka dianggap sebagai bagian dari ISIS cabang Khorasan, atau ISIS-K. Menurut otoritas Rusia, keempat pelaku memiliki paspor Tajikistan.
Terpisah, Presiden Rahmon sendiri mengatakan jika pemerintahannya bertujuan untuk menjadikan Tajikistan sebagai negeri “demokratis, berdaulat, berbasis hukum dan sekuler”, mengutip kalimat pembuka Konstitusi 2016.
Ia menyarankan rakyat untuk “mencintai Tuhan dengan hati (mereka)”. “Jangan lupa budaya kalian sendiri,” katanya.
Sementara itu, Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (USCIRF) menetapkan Tajikistan sebagai “negara yang menjadi perhatian khusus” dalam laporannya tahun 2023.