Tahun politik sudah di depan mata. Kita akan menghadapi Pemilu Presiden dan Legislatif (DPR/DPRD) pada 2019. Di tahun 2018 juga ada sejumlah pemilihan gubenur (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, misalnya). Nama-nama yang masuk bursa capres dan cawapres juga sudah mulai tampak. Hasil survei Poltracking menunjukkan, Jokowi masih menjadi capres paling populer, disusul kemudian Prabowo Subianto. Adapun nama-nama cawapres yang mengemuka antara lain: Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, dan Susi Pudjiastuti.
Publik yang tercerahkan tentu akan mencermati prestasi, jejak rekam dan kinerja nama-nama tersebut sebelum menentukan pilihan. Terlebih di era keterbukaan seperti sekarang ini. Masyarakat akan dengan mudah mendapatkan informasi mengenai kiprah dan sepak terjang para kandidat. Fakta ini harusnya menjadi cermin bagi mereka yang ingin berkontestasi untuk terus bekerja dan membangun reputasi baik, bukan pencitraan atau sekadar sensasi. Para kandidat tak bisa lagi memandang masyarakat sebagai sekelompok orang bodoh yang mudah dikibuli.
Tahun politik, sebagaimana lazimnya, identik dengan kegaduhan. Riuh rendah, baik di dunia nyata maupun maya tak terhindarkan. Pilpres 2014 adalah contoh. Ajang pemilihan presiden yang dimenangkan pasangan Jokowi-JK tersebut adalah salah satu yang paling menguras energi. Sayangnya, kegaduhan dan keriuhan itu tak melulu soal adu gagasan, namun bercampur baur dengan caci maki, hasutan, dan fitnah. Menjadi renggang (bahkan bermusuhan) lantaran politik dialami tidak hanya oleh satu dua orang.
Menghadapi tahun politik, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan:
Pertama, siapapun yang akan berkontestasi di masa mendatang harus berkomitmen untuk tidak memainkan isu SARA. Keutuhan bangsa ini terlalu mahal jika harus digadaikan dengan kepentingan politis segelintir orang atau kelompok yang sifaatnya amat sangat sesaat. Bagaimanapun isu SARA adalah hal sensitif yang mudah menyulut api permusuhan di masyarakat. Hanya politikus/parpol berkualitas yang tidak meraup untung dengan bermain di isu SARA dan mengorbankan persatuan.
Indonesia telah mengalami banyak peristiwa perpecahan akibat sentimen SARA di masa lalu. Hendaknya itu bisa menjadi pelajaran berharga. Betapa tidak eloknya menyaksikan sesama anak bangsa saling baku hantam lantaran perbedaan. Alangkah mundurnya peradaban kita jika melihat manusia diperlakukan tak ubahnya ayam petarung yang bisa diadu kapan saja sesuka hati. Kita sama sekali tak menginginkan lantaran nila setitik rusak susu sebelanga.
Kedua, adanya niat kuat untuk tidak menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Sebagaimana diketahui, kemajuan teknologi mengubah pola persebaran informasi. Dampaknya sudah sangat terasa kini, hampir tiap hari kita terpapar berbagai berita beragam tema dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Keberadaan internet (sosial media) semakin mengubah laju informasi. Di tengah masyarakat yang terpapar rupa-rupa informasi, hoaks menyusup sebagai virus dengan daya rusak tinggi. Ditambah lagi dengan ujaran kebencian yang kini begitu mudah dilontarkan atas nama kebebasan.
Kita mengharapkan politik yang sehat sebagaimana kita juga berharap internet (baca: media sosial) yang sehat. Kalaupun harus beradu, mestinya mereka saling beradu gagasan dan bukan beradu siapa lebih kuat memproduksi berita bohong dan ujaran kebencian. Politik kita selamanya akan jalan di tempat dan bahkan berjalan mundur jika para politisi atau partai politik malah menyokong mesin pembuat berita palsu dan ujaran kebencian.
Ketiga, kesiapan untuk berbesar hati dan berpikiran terbuka. Dalam kontestasi politik, menang dan kalah tentu saja merupakan hal biasa. Menjadi tak biasa manakala kelompok yang kalah tak bisa berbesar hati, tak mampu bersikap legowo. Rumusnya memang sederhana, jika menang jangan terlampau jumawa, dan jika kalah mesti berlapang dada. Hanya saja pada prakteknya rumus itu tak mudah diterapkan. Kita telah saksikan, di setiap ajang pesta demokrasi ada saja kelompok yang tak bisa menerima kekalahan. Tak jarang mereka mengorganisir pendukungnya untuk berbuat onar.
Hal itu sangat kontraproduktif, jauh dari beradab dan tak boleh dibiarkan terjadi.
Keempat, menghadapi tahun politik masyarakat seyogyanya harus lebih berdaya. Kelompok cerdik cendikia, misalnya, mesti lebih sering turun ke bawah memberikan literasi politik. Tentu saja agar masyarakat lebih melek politik. Supaya mereka ketika memilih seorang calon kepala daerah atau calon anggota legislatif atau calon presiden tidak hanya karena iming-iming uang semata. Kerja-kerja literasi politik berupaya menjadikan masyarakat sebagai pemilih rasional. Yaitu pemilih yang memberikan suara berdasar perhitungan rekam jejak, kinerja, prestasi, dan kualitas calon, bukan yang lain.