Pakar metode berpikir, Edward De Bono, menulis dalam bukunya ‘Berpikir Praktis’, bahwa proses berpikir manusia dimulai ketika berusaha menjelaskan ‘kotak hitam’. ‘Kotak hitam’ adalah sesuatu yang belum diketahui cara kerjanya, hanya diketahui efeknya. Misalnya, dulu manusia tidak paham kenapa terjadi gempa. Gempa adalah sebuah ‘kotak hitam’. Manusia lalu mencoba menjelaskan mekanisme terjadinya gempa.
Ketika pengetahuan masih terbatas, gempa dijelaskan dengan dongeng mitologi kura-kura menggendong bumi. Karena itu dibutuhkan upacara dan sesaji agar sang kura-kura mau berhenti bergerak. Saat ini, manusia memahami bahwa gempa terjadi salah satunya adalah akibat dari gerakan lempeng tektonik. Setelah memahami gempa, maka manusia bisa bertindak untuk menghindari akibat gempa, bukan lagi dengan mempersembahkan sesaji, tapi dengan merancang bangunan tahan gempa.
Di masa lalu, manusia terkepung oleh banyak sekali ‘kotak hitam’. Banyak hal yang tak bisa dijelaskan, mulai dari petir sampai penyakit. Tempat aman bagi manusia sempit sekali, hanya seputar desanya. Sedangkan dunia luar nampak begitu gelap dan menyeramkan. Seiring berlalunya waktu, satu demi satu ‘kotak hitam’ itu terbuka. Manusia modern sudah semakin memahami mekanisme alam sekitar, bahkan sudah mampu memanipulasinya untuk keuntungan manusia. Hidup pun menjadi lebih mudah dan aman.
Namun ironisnya, kini justru terjadi fenomena baru. Jika dulu manusia berusaha membuka ‘kotak hitam’, sebagian manusia modern masa kini justru semakin banyak yang terjebak ke dalam tahayul modern.
Apa itu tahayul modern? Tak lain dan tak bukan adalah berbagai ‘kotak hitam’ yang sengaja tidak berusaha dipahami walau sudah tersedia penjelasannya. Misalnya, orang yang setiap hari menggunakan smartphone tapi mempercayai bahwa bumi datar.
Hal ini terjadi karena baginya, smart phone adalah sebuah ‘kotak hitam’. Dia tidak tahu bagaimana cara kerja smartphone. Dia tidak paham, mengapa kalau dia mengetik pesan di WA, detik itu juga pesannya bisa dibaca oleh temannya di belahan dunia lain.
Yang dia tahu hanya bahwa bila dia memencet tombol on dan mengisi pulsa, maka smartphonenya akan bekerja. Dia tidak tahu teknologi apa yang diperlukan agar sebuah smartphone bisa terkoneksi satu sama lain. Karena itu walau memegang alat canggih, tetap saja otaknya tidak menjadi canggih.
Rupanya di zaman modern yang serba cepat ini, sebagian orang justru merasa tak mampu mempelajari segala hal. Agar tak terbebani oleh hal-hal yang rumit, mereka malah menjadikan segala hal sebagai ‘kotak hitam’. Mulai dari proses kerja vaksin, cara kerja mesin pencari di internet, perdagangan mata uang asing, sampai pentingnya infrastruktur dalam upaya membangun negara, tidak dicoba untuk dicari penjelasannya. Semua hal itu malah dibuat kabur dan rumit.
Kalaupun ada upaya untuk menjelaskan hal-hal tersebut, mereka hanya ingin penjelasan yang paling sederhana, seperti ‘konspirasi’ atau ‘sudah digariskan oleh Tuhan’ atau ‘pokoknya ganti’. Mereka percaya bahwa cara ini akan membuat mereka nyaman dalam ketidaktahuan mereka. Tapi ternyata hal itu malah membuat mereka sangat rentan terserang hoax dan informasi fitnah. Akibatnya mereka mudah terpancing untuk bereaksi dengan mengedepankan emosi karena merasa tidak memiliki andil maupun daya untuk menghadapi dunia luar yang nampak begitu menyeramkan.
Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan orang yang kontra produktif seperti ini, karena bila dibiarkan, maka semua kerja pembangunan ilmu pengetahuan menjadi sia-sia dan kita kembali ke masa gelap ketika tahayul meraja lela. []
Wallahu A’lam.