Berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan tentang balasan setimpal bagi umat manusia berdasarkan perbuatannya di dunia, pada ayat 55 – 57 ini Allah SWT menerangkan balasan bagi orang beriman dan bertakwa di jalan Allah SWT yaitu surga dan keadaan mereka di dalam sana. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ () هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ () لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُمْ مَا يَدَّعُونَ
In Ashhaab al-jannati al-yawma fii syughulin faakihuun. Hum wa azwaajuhum fii zhilaalin ‘alaa al-araa‘iki muttaki‘uun. Lahum fiihaa faakihatun wa lahum maa yadda’uun.
Artinya:
“Sesungguhnya para penghuni surga pada hari (Kebangkitan) itu dalam kesibukan, lagi sangat senang. Mereka bersama pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat-tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan. Bagi mereka di sana ada (aneka) buah-buahan dan bagi mereka apa yang mereka minta.”
Dalam penelusuran Ibnu Jarir al-Thabari terhadap makna pada ayat 55, khususnya pada kata syughul, ia menemukan bahwa terdapat perbedaan pendapat terkait makna kata tersebut yang disandarkan pada beragam riwayat. Pertama riwayat dari Ibnu Hamid dari Ya’qub dari Hafsh bin Humaid dari Syamir bin ‘Athiyah dari Syaqiq bin Salamah dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa makna kata syughul adalah terbebas dari kesulitan-kesulitan (iftidhadh al-‘udzara).
Kedua berdasarkan riwayat dari Ibnu Abd al-A’la dari al-Mu’tamir dari bapaknya dari Abu ‘Amr dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya makna kata tersebut adalah terbebas dari kesedihan-kesedihan. Riwayat ketiga bersumber dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu ‘Ashim dari Isa dari al-Haris dari al-Hasan dari Waraqa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid bahwasanya makna kata syughul adalah nikmat.
Tiga pendapat di atas bukan berarti memaknai kata syughul dalam arti yang berbeda-beda. Makna dasar dari kata tersebut adalah kesibukan-kesibukan. Akan tetapi seperti apa bentuk kesibukan para penghuni surga itu, disitulah letak pemaknaan yang dimaksudkan oleh al-Thabari berdasarkan riwayat-riwayat tadi. Bahkan dari riwayat yang lain, al-Thabari juga menjelaskan bahwa kata syughul tersebut berarti kesibukan para penghuni surga dalam kenikmatan sehingga mereka lupa terhadap nasib para penghuni neraka.
Terkait makna kata faakihuun Ibnu Jarir al-Thabari pun memiliki dua riwayat yang berbeda. Menurut riwayat yang diambil dari Abdullah Ibnu ‘Abbas, kata tersebut bermakna kesenangan (farihuun), sedang riwayat dari Mujahid arti kata faakihuun adalah ketakjuban (‘ajibuun). Dua makna ini dapat digunakan untuk memahami ayat tersebut, baik dipahami secara masing-masing makna maupun digunakan secara bersamaan.
Artinya para penghuni surga sibuk dengan kenikmatan-kenikmatan yang ada di surga yang membuat mereka bahagia sekaligus tak henti-hentinya merasa takjub atas segala kenikmatan yang ada. Adapun kata al-azwaj pada ayat berikutnya, ayat 56, menurut al-Thabari sebagaimana mengutip riwayat dari Mujahid bahwa para pasangan tersebut adalah pasangan-pasangan halal (istri ataupun suami) semasa di dunia.
Menurut Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Lathaif al-Isyarat, yang dimaksud dengan kalimat ashhab al-jannah (para penduduk surge) adalah mereka yang selalu menghadirkan hatinya dan dekat kepada Allah SWT, serta tidak disibukkan dengan iming-iming surga. Al-Qusyairi berpendapat bahwa para penghuni surga adalah mereka yang sibuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap kehidupannya. Hal ini tidak dalam arti selalu beribadah dan menghindari kesibukan dunia seperti bekerja dan sebagainya. Akan tetapi setiap kegiatan yang dilakukannya selalu diniatkan untuk mengharapkan ridha Allah SWT.
Sama seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan al-Thabari di atas terkait kenikmatan surgawi, Imam al-Qusyairi pun berpendapat bahwa surge dipenuhi dengan berbagai kenikmatan. Namun al-Qusyairi menjelaskan lebih rinci bahwa kenikmatan terbesar dan paling tinggi di dalam surga bagi para penghuninya adalah dapat melihat langsung Allah SWT tanpa suatu penghalang apa pun.
Fakhruddin al-Razi dalam memaknai ayat di atas menilai bahwa kesibukan para penghuni surga dapat dimaknai dengan beberapa makna. Pertama para penghuni surga sibuk dengan setiap pahala yang diberikan Allah SWT kepada mereka, sehingga tidak ada satu pun kabar tentang siksa (adzab) maupun penghitungan amal (hisab). Kedua sibuk yang sangat besar karena merasakan dahsyatnya pengalaman pertama pada hari itu setelah melewati Hari Pembalasan. Ketiga sibuk dalam arti kegiatan mereka hanya diisi dengan berbagai kelezatan dan kenikmatan yang selama ini tidak terbayangkan dalam benak para penghuni surga ketika di dunia.
Hampir sama dengan penafsiran-penafsiran di atas, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan bahwa meskipun para penduduk surga itu sibuk dengan berbagai kenikmatan akan tetapi kesibukan tersebut sama sekali tidak menjemukan mereka. Mengutip pendapat al-Thabathaba’i, Quraish menerangkan bahwa aktivitas di surga menjadikan para penghuninya tidak lagi melakukan aktivitas lain selain menikmati kenikmatan surgawi, apa pun bentuknya.
Adapun penafsiran terhadap ayat ke-56, Quraish menjelaskan bahwa bagi para penghuni surga yang ketika di dunianya telah memiliki pasangan yang sama-sama beriman dan bahagia dengan pasangannya, maka mereka akan hidup berdampingan bersama pasangannya tersebut selama di surga. Adapun bagi para penghuni surga yang selama di dunia tidak menikah, pasangannya tidak beriman, ataupun tidak bahagia bersama pasangannya selama di dunia, maka di surga ia berhak memilih pasangan berupa para bidadari maupun bidadara.
Sedangkan bagi para perempuan yang menikah lebih dari sekali, maka mereka berhak memilih pasangan yang paling disenanginya. Hal ini sebagaimana hadis riwayat mengenai Ummu Salamah, yang merupakan janda Abu Salamah, yang dinikahi Rasulullah SAW. Nabi SAW menjawab kegelisahan Ummu Salamah terkait dengan siapa dia nanti di surga, maka jawaban Nabi adalah Ummu Salamah berhak memilih pasangan yang paling disukainya.