Ayat di bawah ini mengisahkan tentang perjalanan Nabi Musa dan asistennya dalam mencari orang saleh yang didamba-dambakan Nabi Musa. Tanda keberadaan orang saleh itu ikan perbekalan keduanya itu bisa meloncat. Padahal, menurut Syekh al-Sya‘rawi dalam kitab tafsirnya, ikan tersebut sudah mati dan siap santap. Akan tetapi, saat ikan itu meloncat, keduanya tidak menyadarinya, dan sudah melewati agak jauh tempat yang dituju. Keduanya pun kembali ke tempat yang dituju. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا جاوَزا قالَ لِفَتاهُ آتِنا غَداءَنا لَقَدْ لَقِينا مِنْ سَفَرِنا هَذَا نَصَباً () قالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَما أَنْسانِيهُ إِلاَّ الشَّيْطانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَباً () قالَ ذلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلى آثارِهِما قَصَصاً
fa lamma jawaza qola li fatahu atina ghoda’ana la qod laqina min safarina hadza nashoba () qola aroaita idz awaina ilas shokhroti fa inni nasitul hut. Wa ma ansanihu illas syaithonu an adzkuroh. Wattakhodza sabilahu fil bahri ‘ajaba ()
Artinya:
“Tatkala keduanya telah menjauh (melewati pertemuan dua laut), Musa bertanya pada asistennya, ‘Coba makanan kita bawa ke sini. Kita benar-benar sudah letih akibat perjalanan kita ini’ (). Asistennya menjawab, ‘Tuan Musa, tahukah engkau, tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, aku lupa ikan, dan setan lah yang membuatku lupa mengingat (tempat loncat) ikan. Ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali’ (). ‘Itulah yang kita cari.’ Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak perjalanan sebelumnya.” (QS: Al-Kahfi Ayat 62-64)
Perjalanan Nabi Musa dengan asistennya itu agaknya sudah cukup jauh. Akan tetapi, perjalanan tersebut belum mencapai sehari-semalam. Menurut Quraish Shihab, tanda belum mencapai sehari-semalam adalah keduanya baru merasa lapar. Selain itu, ghoda’ dalam ayat ini menurut Ibnu ‘Asyur berarti ‘makan siang’. Saat hendak makan siang ini, ternyata mereka sudah melewati majma‘al bahrain ‘pertemuan di laut’ yang sudah disinggung pada ayat 60-61 sebelumnya. Ikan perbekalan mereka pun sudah lenyap saat asisten Nabi Musa hendak mengambilnya.
Redaksi ayat ‘ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali’ menurut Syekh al-Sya‘rawi dalam tafsirnya bahwa ikan yang sudah dibakar itu tetiba berjalan dan meloncat ke laut dari wadah. Qurasih Shihab tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ikan perbekalan keduanya meloncat ke laut. Dalam Tafsir al-Misbah, ia menafsiri bahwa ikan yang keduanya bawa itu diletakkan di atas batu tempat mereka beristirahat, lalu asiten Nabi Musa lupa membawanya. Atau, ikan tersebut bisa jadi tersenggol dan terjatuh dibawa arus ke tengah laut.
Menurut Syekh Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir, walaupun yang dipasrahi menjaga perbekalan adalah asisten Nabi Musa, akan tetapi redaksi Al-Qur’an pada ayat 61 sebelum ayat-ayat ini menyebutkan nasiya hutahuma ‘keduanya lupa terhadap ikan (perbekalan) mereka’. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sedang mempunya hajat, dalam hal ini Nabi Musa, yaitu hajat ingin bertemu orang saleh yang didambakan, itu juga harus tetap mengontrol ihwal hajatnya, walaupun sudah dipasrahkan pada orang lain.
Setelah sadar akan kehilangan ikan perbekalan keduanya yang menjadi petunjuk keberadaan orang selah tersebut, keduanya pun berbalik arah menuju pertemuan dua laut atau majma’al bahrain.