Allah berulangkali memberikan perumpamaan dalam Al-Qur’an mengenai kebaikan atau keburukan yang akan dialami oleh setiap orang sesuai kadar kemampuannya masing-masing. Akan tetapi, sebagian manusia enggan menerima kebenaran Al-Qur’an dan malah lebih senang membantah dengan argumen yang keliru dan mengikuti hawa nafsunya. Allah SWT berifman:
وَلَقَدْ صَرَّفْنا فِي هذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكانَ الْإِنْسانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً
Wa laqod shorrofna fi hadzal Qur’ani linnasi min kulli matsal. Wa kanal insanu aktsaro syai’in jadala
Artinya:
“Kami berulangkali telah menjelaskan berbagai perumpamaan di dalam Al-Qur’an bagi semua manusia. Akan tetapi (karakteristik) manusia itu paling sering membantah (QS: Al-Kahfi Ayat 54)
Menurut Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir, An-nas ‘manusia’ dalam ayat ini dimaksudkan secara khusus untuk orang-orang musyrik. Maskudnya, orang musyrik itu sudah diberikan banyak percontohan dan tamsil, akan tetapi mereka tetap enggan memahami kebenaran Al-Qur’an. Sementara itu, kata al-insan yang juga bermakna ‘manusia’ dalam Al-Qur’an, menurut Ibnu ‘Asyur, biasanya berlaku lebih luas. Artinya, manusia yang beriman ataupun yang musyrik. Itulah mengapa para mufasir juga mengutip hadis mengenai sayidina Ali yang berargumen atau “membantah” Nabi saat dirinya suatu malam dibangunkan Nabi untuk shalat malam.
Beberapa ulama tafsir, seperti al-Qurthubi, Ibnu ‘Asyur, dan Syekh Mutawalli al-Sya‘rawi mengutip sebuah riwayat hadis sahih mengenai sahabat Ali dan siti Fatimah yang mana Nabi membangunkannya pada malam hari, akan tetapi keduanya tidak langsung bangun. Diriwayatkan dari Ali yang menceritakan bahwa Nabi pernah mendatanginya dan Fatimah pada suatu malam. “Loh, kalian kok belum shalat malam?” tanya Nabi pada keduanya. Ali pun menjawab, “Rasul, jiwa kami itu berada di genggaman kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak membangunkan, kami pasti bangun.” Nabi pun langsung berpaling ketika Ali mengucapkan sanggahan tersebut dan tidak menimpalinya sama sekali. Nabi berpaling sambil menepuk paha Ali dan berkata, “Wa kanal insanu aktsara syai’in jadala ‘dasar manusia, banyak sekali alasannya.”
Menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, diamnya Nabi yang tidak merespon Ali saat berkata Rasul, jiwa kami itu berada di genggaman kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak membangunkan, kami pasti bangun itu menunjukkan bahwa Nabi kesal atas Ali yang tidak menempatkan perkataannya sesuai konteks. Padahal mengapa sahabat Ali tidak bilang saja sedang capek atau alasan lainnya, karena toh yang ditinggalkan bukan shalat fardhu, akan tetapi shalat sunah malam. Itu pun ia tidak meninggalkannya setiap malam. Artinya, semua manusia memang memiliki potensi berargumen membenarkan perbuatannya sendiri. Namun, argumen tersebut menjadi baik bila ditunjang dengan akal sehat, bukan hawa nafsu.
Tidak semua aktivitas beragumen manusia itu keliru dan disalahkan Al-Qur’an. Syekh Ibnu ‘Asyur mengutip satu ayat mengenai argumen Nabi Ibrahim pada surah Hud ayat 74-75. Nabi Ibrahim mendebat malaikat-malaikat Allah mengenai rencana pemusnahan kaum Nabi Luth.