Dua ayat ini bentuk peringatan dari Allah untuk Nabi Muhammad agar selalu mengucapkan insya Allah dalam segala aktivitas yang dijanjikan pada siapa pun. Pada awal tafsir surat al-Kahfi dijelaskan bahwa salah satu penyebab diturunkan ayat ini adalah Nabi menjanjikan memberi jawaban kepada penduduk Mekah yang bertanya mengenai para pemuda yang pergi ke gua dalam waktu satu hari. Akan tetapi Nabi tidak mengucapkan insya Allah. Wahyu pun tidak langsung datang pada Nabi Muhammad dalam satu hari mengenai jawaban para pemuda yang pergi ke gua itu. Allah SWT berfirman:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فاعِلٌ ذلِكَ غَداً () إِلاَّ أَنْ يَشاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ وَقُلْ عَسى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَداً
Wa la taqulanna li syai’in inni fa‘ilun dzalika ghoda (23) illa ay yasya’allah. Wadzkur robbaka idza nasita wa qul ‘asa ay yahdiyani robbi li aqroba min hadza rosyada (24)
Artinya:
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi () kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini” (QS: Al-Kahfi Ayat 22-23)
Syekh Mutawalli al-Sya‘rawi memaparkan bahwa ayat ini merupakan bentuk kasih sayang Allah pada Nabi-Nya. Allah tidak mencela Nabi saat ia tidak mengucapkan insya Allah untuk menjajikan jawaban bagi penduduk Mekah dalam satu hari. Dari sini, menurut Syekh al-Sya‘rawi, terdapat pelajaran yang dapat dipetik bahwa saat kita membantu orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita itu hendaknya kita jangan terlebih dahulu menyebutkan kesalahannya kepada kita secara langsung. Bantulah dia terlebih dahulu, setelah dia merasa nyaman barulah ingatkan dia pernah punya kesalahan pada kita.
Terkait ayat ini, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim mengutip riwayat tentang Nabi Sulaiman yang juga lupa mengucapkan insya Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه [قَالَ] قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ: لأطوفن الليلة على سَبْعِينَ امْرَأَةً -وَفِي رِوَايَةِ تِسْعِينَ امْرَأَةً. وَفِي رِوَايَةٍ: مِائَةِ امْرَأَةٍ-تَلِدُ كُلُّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ غُلَامًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقِيلَ لَهُ -وَفِي رِوَايَةٍ: فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ-قُلْ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ. فَلَمْ يَقُلْ فَطَافَ بِهِنَّ فَلَمْ يَلِدْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ نِصْفَ إِنْسَانٍ”، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ: “إِنْ شَاءَ اللَّهُ” لَمْ يَحْنَثْ، وَكَانَ دَرْكًا لِحَاجَتِهِ”، وَفِي رِوَايَةٍ: وَلَقَاتَلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah SAW bercerita mengenai Nabi Sulaiman, “Sulaiman bertekad akan menyetubuhi 70 istrinya dalam satu malam. Dalam riwayat lain 90 istri. Dalam riwayat lain 100 istri. Ia bertekad dari satu istri itu melahirkan seorang anak laki-laki yang bisa berperang di jalan Allah. Lalu Nabi Sulaiman diminta oleh malaikat untuk mengucapkan insya Allah. Akan tetapi ia tidak melakukannya. Nabi Sulaiman menyetubuhi semua istrinya, namun hanya satu istri saja yang melahirkan setengah manusia.” “Demi Zat yang aku berada di genggaman-Nya, jikalau ia mengucapkan insya Allah niscaya ia tidak termasuk yang mendustai janji, dan kebutuhannya pasti tercapai,” jelas Rasulullah. Dalam riwayat lain, “Nabi Sulaiman akan mempunyai banyak anak yang berperang di jalan Allah berkuda semuanya,” kata Rasulullah.