Siapa sangka, Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan dunia bahkan mengatur segalanya ternyata tidak menyukai apabila kerusakan-kerusakan terjadi di dunia ini. Penciptaan manusia memang sempat dikritik oleh para malaikat. Untuk itulah, Allah membekali manusia dengan akal, perasaan, dan pengetahuan dalam menjalankan tugasnya di dunia. Namun, apa yang terjadi?
Kekerasan tidak hanya terjadi antara sesama manusia. Alam dan hewan pun tidak luput menjadi objek keganasan manusia. Allah berada dalam posisi yang tegas dan jelas, tidak menginginkan dan menyukai kerusakan itu terjadi. Untuk itu, Allah mengingatkan tugas manusia di dunia, yakni sebagai khalifah fi al-ardh (pengelola yang baik dunia ini) bukan mufsid al-ardh (perusak dunia) apalagi musfik al-dimâ’ (pengobar kekacauan dan peperangan).
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 205, Allah menyebutkan:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادََ
Artinya: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
‘Alî Al-Naisâbûri (w. 468) dalam Al-Wasîth fî Tafsîr Al-Qur’an Al-Majîd menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan al-fasâd (kerusakan) adalah kehancuran, menyia-nyiakan mata uang, merusak sesuatu dengan tanpa ada unsur kemashlahatan (kebaikan). Dari pandangan ini, kita bisa melihat ada perbedaan mencolok antara merusak (ifsâd) dan memanfaatkan (intifâ’).
Sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang ifsâd dan intifâ’, Ma’mûn Hammûsy dalam Tafsîr Al-Ma’mûn ‘Alâ Manhaj Al-Tanzîl wa Al-Shahîh Al-Masnûn menjelaskan secara spesifik maksud dari ayat ini. Menurutnya, ayat ini pembicaraannya mencakup apapun kerusakan-kerusakan yang terjadi. Baik terhadap sesama manusia maupun kepada makhluk lainnya.
Kerusakan yang terkait dengan alam, dan hewan-hewan disebut secara spesifik pada ayat diatas. Kata al-harts diartikan oleh para ahli tafsir dengan tanaman-tanaman. Sementara, kata al-nasl adalah hewan-hewan. Namun, Al-Mujahid menyebutkan bahwa yang dimaksud dari kata al-nasl adalah setiap yang ada dibumi ini, baik hewan maupun manusia.
Ketika kita sebentar menengok keterangan yang disampaikam oleh Al-Kalabi dari Ibnu Abbas, kalimat lâ yuhibbu ditafsiri dengan Allah tidak ridho dan tidak rela apabila terjadi kerusakan dan kemaksiatan terjadi dibumi. Dengan ini, upaya pengrusakan alam, hewan, dan manusia adalah bentuk-bentuk kemaksiatan sosial dan oleh sebab itu Allah tidak merestui, meridhoi, bahkan tidak menyukai terjadinya kerusakan-kerusakan tersebut.
Sebelum kita menyimpulkan, kita coba menyimak sebuah pertanyaan yang disampikan kepada Imam Mujahid. Kisah ini disampaikan oleh Ibnu Hatim dengan menggunakan sanad (mata rantai) Hasan dari Nadhr ibn ‘Arabi dari Imam Mujahid. Pertanyaan itu adalah bagaimana kerusakan tanaman (al-hirts) dan hewan-hewan (al-nasl) itu bisa terjadi? Imam Mujahid menjawab, sebidang tanah yang dikelola oleh seorang yang dzalim dan penuh rasa permusuhan hingga akhirnya air hujan dimonopoli hanya untuk kepentingannya sendiri, akhirnya binasalah tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan lainnya. Kisah ini ditulis oleh Hikmat bin Basyir bin Yasim dalam kitab Al-Tafsîr Al-Shahîh Mausû’ah Al-Shahîh Al-Mabsûr min Al-Tafsîr bi Al-Ma’tsûr.
Sedikit bisa kita tangkap dari kisah tersebut perbedaan antara ifsâd (merusak) dan intifâ’ (memanfaatkan). Tanah, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan adalah dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai pemenuh kebutuhan, maka memanfaatkan secara berlebihan adalah masuk dalam kategori ifsâd yang dilarang. Monopoli, eksploitasi membabi buta, hingga kedzaliman menjadi pintu masuk permusuhan tumbuh berkembang. Hal ini akan menjadikan manusia sebagaimana yang diprediksikan oleh malaikat, yakni terjadinya pertumpahan darah dimana-mana. Oleh sebab itu, membangun perlu memperhatikan tiga aspek penting dalam hidup, yaitu kemanusiaan, alam dan lingkungan, serta hak hidup hewan.
Kesimpulannya, Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dalam arti pengelola dunia. Perjalanan manusia dari generasi ke generasi adalah untuk menjamin kondisi dunia tetap baik-baik saja. Upaya pengrusakan dunia ini, baik dalam bentuk pertikaian antar sesama manusia, eksploitasi alam berlebihan dan tidak bertanggung jawab, merusak ekosistem hewan, laut, dan lingkungan, adalah perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah. Bahkan, hal tersebut merupakan perbuatan maksiat. Wallahu a’lam bish-shawab.