Dunia sedang dilanda bencana besar. Musibah non-alam yang telah merenggut nyawa-nyawa manusia. Covid-19 lah namanya. Berbagai upaya telah serentak dilakukan. Disamping untuk memutus mata rantai penyebaran virus mematikan ini–terlepas sudah ditemukan obat atau masih dalam proses–namun yang jelas, semua penyakit pasti ada obatnya. Tugas manusia adalah berusaha (ikhtiar) bagaimana supaya virus ini tidak menyebar, tidak menyerang lebih luas, dan bisa disembuhkan.
Pekerja medis, sebagai pihak yang kompeten berbicara tentang Covid-19, telah menghimbau supaya sering mencuci tangan, diam di rumah, menjaga jarak dengan orang lain. Ikhtiar dhahir ini harus dilakukan.Tetapi, dalam menjalankannya dibutuhkan kesabaran. Iya, kesabaran. Ibnu Sina menyebutkan bahwa kesabaran adalah awal dari penyembuhan atau selesainya permasalahan ini (ash-shabru bidâyah asy-syifâ’).
Dalam al-Qur’an, sosok yang diceritakan pernah mengalami penyakit mengenaskan adalah Nabiyullah Ayyub AS. Dalam menghadapi penyakit yang beliau harus tanggung, kunci utamanya adalah sabar. Berkat kesabarannya lah penyakit itu akhirnya berakhir, sebagaimana akan dipaparkan selanjutnya.
Kisah keluh kesah nabiyullah Ayyub diabadikan dalam Surat al-Anbiyâ’ ayat 83-84.
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (٨٣) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ ۖ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَابِدِينَ(٨٤)
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (83) “Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah” (84).
Nabi Ayyub adalah orang Romawi. Nama lengkapnya adalah Ayyub bin Anush. Ayahnya dari keturunan Nabi Ishaq, sedangkan ibunya dari keturunan Nabi Luth. Istrinya bernama Makhiro binti Misya bin Yusuf bin Ya’qub. Nabi Ayyub memiliki tujuh putra dan tujuh putri.
Dikisahkan, sebagaimana ditulis oleh Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtih al-Ghaib, Nabi Ayyub adalah sosok yang kaya raya, memiliki anak-anak dan istri yang sangat dicintainya. Meskipun kaya raya, beliau gemar untuk membantu orang-orang yang hidup dalam kekurangan, anak-anak yatim, dan lansia. Kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Ayyub membuat para malaikat-malaikat memanjatkan sholawat untuknya. Ini sebagai wujud bahwa Allah ridho dan mencintai Nabi Ayyub.
Mendengar gemuruh penduduk langit bershalawat untuk Nabi Ayyub, iblis iri dan dengki. Singkat cerita akhirnya iblis meminta izin untuk membumihanguskan harta kekayaan dan putra-putri Nabi Ayyub. Hasan al-Bashri meriwayatkan, ketika Nabi Ayyub telah kehilangan mayoritas yang dimiliki, beliau bergumam: “wahai Tuhanku, sebelum hari ini terjadi, siang hari dunia telah membuatku sibuk, malam hari anak-anakku telah membuatku sibuk, pada hari ini saya memfokuskan pendengaran dan penglihatanku untuk memuji dan berdzikir kepada-Mu. Tidak ada celah iblis membuat tipu dayanya kepadaku”.
Hingga pada akhirnya, beliau dicoba dengan ujian yang berat sampai-sampai beliau diusir oleh penduduk setempat. Masyarakat merasa khawatir jangan-jangan penyakit yang diidap oleh Nabi Ayyub menular pada mereka. Penulis tidak bisa memastikan apakah itu dilakukan dengan cara yang manusiawi atau tidak. Untungnya, di zaman sekarang bisa dilakukan dengan cara-cara manusiawi, yakni isolasi. Penulis juga tidak bisa memastikan, apakah penyakit Nabi Ayyub benar-benar menular atau tidak.
Dalam kesulitan dan derita yang amat berat ini, Nabi Ayyub tetap menghadapinya dengan penuh kesabaran. Hingga akhirnya beliau melakukan munajat sebagaimana tertera dalam QS. Al-Anbiyâ’ ayat 83. Namun, para Ulama berbeda pendapat terkait maksud dari kata “adh-dhurru” yang secara leksikal bermakna “kesusahan”. Ada yang menyatakan penyakit (Qatadah), musibah (as-Sady), terputusnya wahyu hingga takut jangan-jangan Allah telah berpaling darinya (Ja’far ash-Shadiq) atau terlalu lemah hingga tidak mampu untuk berdiri dalam beribadah (al-Hasan).
Meskipun para ulama berselisih, setidaknya ayat di atas menggambarkan kepada kita bagaimana kondisi Nabi Ayyub yang penuh kesulitan. Masyarakat juga khawatir penyakit Nabi Ayyub menular kepada mereka. Dalam hal ini, penulis menilai, Nabi Ayyub-pun memaklumi apa yang dicemaskan oleh masyarakatnya. Meskipun dikisahkan, hanya sedikit dari masyarakatnya yang mau mengikuti ajaran Nabi Ayyub, tapi kita bisa melihat bagaimana kecintaan dan kasih sayang Nabi Ayyub kepada masyarakatnya, sebagaimana telah disampaikan di atas.
Dalam keadaan yang penuh dengan segala kesusahan, tidak ada makanan dan minuman yang sebelumnya selalu diantarkan oleh istrinya, tidak ada yang mau menemaninya, doa Nabi Ayyub akhirnya dikabulkan oleh Allah. Nabi Ayyub diperintahkan untuk menginjakkan kakinya ke tanah dan seketika itu muncullah air. Nabi Ayyub mandi dengan air tersebut hingga akhirnya sembuhlah penyakit-penyakit yang selama ini dideritanya.
Pertanyaannya adalah, apakah Nabi Ayyub tidak berusaha untuk mengobati penyakit yang menimpanya? Penulis melihat, mungkin pada waktu itu belum ada obat dari penyakit yang diderita oleh Nabi Ayyub. Sehingga, hanya dengan berdoa dan bersabarlah yang bisa dilakukan oleh beliau. Ketika obat itu diberikan, Nabi Ayyub segera mengobati penyakitnya. Sebelumnya, Nabi Ayyub lebih memilih bersabar dan rela untuk diisolasi.
Ayat 84 lebih menjelaskan kondisi ketika Nabi Ayyub telah pulih dari ujian dan musibah yang mengenainya. Semuanya kembali normal seperti sediakala. Beberapa tafsir menitik beratkan pada poin kesabaran Nabi Ayyub menghadapi musibah ini.
Pertanyaan dalam konteks zaman kita, bagaimana kalau telah gamblang dijelaskan oleh ahlinya bahwa Covid-19 adalah penyakit yang menular sementara langkah antisipasi perlu dilakukan, apakah langkah-langkah antisipasi itu harus diterjang? Sementara Nabi Ayyub memberi teladan menerima untuk diisolasi. Catatan pentingnya, minimal menurut penulis, dalam menjalankan langkah-langkah antisipasi menyebarannya virus baru ini haruslah dengan kesabaran, dalam bahasa jawa disebut “telaten”. Sembari dilakukan upaya-upaya lainnya untuk memutus mata rantai penyebaran virus dan kita bisa kembali lagi dalam kondisi normal seperti sediakala. Pastinya, kesabaran menjadi kunci utama. Disamping itu, pemerintah harus hadir total dalam menyelesaikan masalah ini. Wallahua’lambish-shawab.