Ulama dalam kehidupan beragama kita ibarat seperti guide, yang mampu menunjukkan jalan keagamaan kita menuju jalan yang benar. Jika demikian, maka saat kita mendekat kepada ulama, maka kita akan dekat dengan jalan kebenaran, sebaliknya, jika kita menjauhi ulama, maka kita akan jauh pula dari jalan kebenaran. Namun, hal ini tergantung lagi dengan siapa ulama yang dimaksud. Dalam Al-Quran surat al-Anbiya ayat 7 Allah SWT berfirman:
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al-Anbiya’: 7)
Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) menyebutkan dalam tafsirnya Zaadul Masir bahwa ada empat pendapat terkait ahladz dzikri, yakni: Pertama, Abu Shalih berpendapat bahwa mereka adalah ahli taurat dan injil. Kedua, pendapat Mujahid yang menyebutkan bahwa mereka adalah ahli taurat. Ketiga, pendapat Ibnu Zaid yang menyebut bahwa ahladz-dzikri adalah ahlul-qur’an; dan keempat, al Mawardi yang berpendapat bahwa ahladz-dzikri adalah ulama yang mengetahui kehidupan orang-orang terdahulu.
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ahladz-dzikri, namun sebagian mufasir mutaakhirin (ahli tafsir masa belakangan) berpendapat bahwa ahladz-dzikri ialah ulama atau orang-orang yang memiliki pengetahuan ilmu agama yang luas dan mendalam.
Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun bagian ayat tersebut diturunkan pada konteks tertentu yakni objek pertanyaan berupa karakteristik kemanusiaan para nabi dan rasul yang diutus Allah, serta siapa yang ditanya tertentu pula, yaitu ahli kitab (taurat dan injil), namun, karena redaksinya bersifat umum, maka dapat dipahami bahwa ayat itu juga sebagai perintah bertanya apa pun yang tidak diketahui kepada siapa pun yang memiliki ilmu pengetahuan (dalam hal agama, misalnya ulama).
Petikan ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang yang tidak berilmu supaya bertanya kepada orang yang berilmu. Terkhusus apabila hal itu termasuk perkara agama, maka wajib bagi orang yang tak berilmu bertanya kepada orang-orang yang berilmu.
Bagi orang yang tak berilmu, namun enggan bertanya kepada orang yang berilmu atau bahkan menjauhi orang-orang yang berilmu (bisa juga disebut ulama), maka mereka akan mendapatkan musibah, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَيَأْتِي زَمَانٌ عَلَى أُمَّتِيْ يَفِرُّوْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ، فَيَبْتَلِيْهِمُ اللهُ تَعَالَى بِثَلاَثِ بَلِيَاتٍ، أُوْلاَهَا يُرْفَعُ الْبَرَكَةُ مِنْ كَسْبِهِمْ، وَالثَّانِيَةُ يُسَلِّطُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا، وَالثَّالِثُ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الدُّنْيَا بِغَيْرِ إِيْمَانٍ
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kelak akan datang kepada umatku suatu zaman, di mana mereka akan meninggalkan ulama dan fuqaha, maka Allah SWT akan memberi mereka ujian dengan tiga musibah. Pertama, diangkatnya keberkahan dari segala usaha mereka. Kedua, Allah SWT akan memberikan kepada mereka penguasa yang zalim. Ketiga, mereka (orang-orang yang meninggalkan ulama dan fuqaha) akan mati tanpa membawa keimanan [yang sempurna].”
Pertama, ilmu agama adalah modal dasar seseorang untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT. Seseorang yang menjalani kehidupannya dengan didasari ilmu agama, niscaya keberkahan dari Allah SWT akan selalu menyertainya. Adapun orang-orang yang menjauhi ulama, maka Allah SWT angkat akan keberkahan dari setiap usahanya, sebab mereka tidak mendasari setiap usahanya dengan ilmu agama.
Kedua, ilmu agama juga merupakan asas tegaknya keadilan. Ketika ilmu agama dihidupkan dalam keseharian umat, maka keadilan pada umat itu akan tegak. Begitu pula sebaliknya, jika ilmu agama tidak dihidupkan atau mati, maka kezaliman akan merajarela pada umat tersebut dan orang yang zalim akan memimpin mereka. Hal itu lah yang dimaksud musibah, yang disebut sebagai balasan bagi orang-orang yang meninggalkan atau menjauhi ulama.
Ketiga, ilmu agama adalah cahaya petunjuk yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama, maka ia akan sulit membedakan antara kebenaran dan kebatilan, terkhusus pada keyakinan yang haq dan batil. Ilmu agama akan menuntun pemiliknya kepada keyakinan yang haq dan meninggalkan keyakinan yang batil. Maka bagi mereka yang tidak memiliki ilmu agama akan terombang-ambing pada keyakinan batil, hingga akhirnya mati dalam keadaan tersebut.
Cermatilah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai berikut, “Inna al-ulama’a waratsatu al-anbiya’a, inna al-anbiya’a lam yutsaruu dinaran wa la dirhaman, innama waratsuu al-ilma, fa man akhadza bihi fa akhadza bihazhin wafirin (Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Dan sungguh, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka siapapun yang mengambil warisan tersebut, maka ia telah mendapatkan keberuntungan yang teramat besar).” (AN)
Wallahu a’lam.