Secara lahiriah kita tahu, bahwa manusia terlahir dari rahim seorang Ibu, kecuali Nabi Adam dan Siti Hawa. Manusia dianggap makhluk yang paling sempurna dari sekian makhluk yang diciptakan oleh Allah, sampai ia dijadikan khalifah di muka bumi. Namun, ketika Allah menetapkan manusia sebagai khalifah, ada satu makhluk yang bernama malaikat yang memprotesnya, ia belum bisa menerima keputusan Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah. Hal ini terekam di dalam surah Al-Baqarah ayat 30.
Sebagai khalifah, manusia diciptakan dalam bentuk yang sangat baik. Al-qur’an menyebutnya ahsan al-taqwim, sebaik-baiknya ciptaan. Emangnya dari mana sih manusia berasal atau diciptakan? Berbagai ayat menjelaskan, salah satunya surat Ar-Rum ayat 20, Allah berfirman:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ إِذَآ أَنتُم بَشَرٞ تَنتَشِرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”
Ayat di atas dimulai dengan wa min ayatihi yang artinya di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ayat ini ingin menunjukkan tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sebagai Dzat Pencipta. Setelah ayat di atas, ayat setelahnya juga dimulai dengan wa min ayatihi juga, terdapat enam kali diulangi. Terlebih surah Ar-Rum merupakan kategori Makkiyah, menurut Ibnu ‘Ashur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, pengulangan redaksi wa min ayatihi merupakan upaya untuk menarik perhatian, juga untuk menunjukkan ke-Esaan Allah. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir, menambahkan bukti kekuasaan Allah adalah menciptakan sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada. Manusia awalnya tidak ada menjadi ada, ada laki-laki dan perempuan.
Wahbah Zuhaili menjelaskan, pada hakikatnya Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam dari tanah. Bukan hanya itu, sumber seluruh makanan untuk hidup juga berasal dari tanah. Sebuah hadist riwayat Abu Musa al-Asy’ari yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili. Nabi bersabda:
اِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ مِن قَبْضَة قَبَّضَهَا مِن جَمِيعِ الاَرْض , فَجَاءَ بَنُو آدَم عَلى قَدْر الأرضِ, جَاءَ مِنهُم الأبيَضُ و الأحْمَرُ وَ الأسوَدُ وَ بَيْنَ ذَلِكَ وَ الخَبِيْثُ و الطَّيبُ, وَ السَّهْلُ و الحَزْنُ و بَينَ ذَلِكَ
Artinya: “Sesugguhnya Allah menciptakan Adam dari segempal tanah dari seluruh tanah yang Allah kumpulkan, maka keturunan Adam lahir sesuai kadar tanahnya, adakalanya putih, merah, hitam (kulitnya) diantaranya jelek, baik, gembira dan susah”
Nawawi al-Bantani menambahkan dalam Murah Labid, bahwa Allah menciptakan manusia berasal dari nutfah, air mani, yang berasal dari makanan, sedangkan makanan berasal dari tanah. Seperti dalam Surah al-Mu’minun ayat 12, Allah berfirman:
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”
Inilah hakikat asal manusia, melalui ayat di atas kita dapat merasakan dan merenungi kehidupan kita. Bahwa kita berasal dari tanah, mulai dari makanan yang juga berasal dari tumbuhan, baik berupa buah-buahan maupun sayuran yang kita tanam di dalam tanah, sampai menjadi inti sari makanan berupa air mani. Kemudian mengalami pembuahan dalam rahim seorang ibu, sampai lahir di dunia.
Setelah mengalami proses panjang, berawal dari air mani, berubah menjadi sebuah ‘alaqah atau sebuah ikatan, kemudian berubah menjadi segumpal daging, baru berubah menjadi manusia berakal. Secara tiba-tiba manusia menjelma sosok makhluk yang mewarnai dunia, dengan berbagai tujuan dan berbagai peran, ada yang bercocok tanam di sawah, kebun, sebagian ada yang mendirikan perusahan di kota metropolitan. Sebagian ada yang bekerja untuk keberlangsungan hidup, ada juga untuk mengumpulkan uang, yang miskin dan kaya, ada yang bahagia dan yang sengsara.
Demikianlah hakikat asal manusia. Betapapun hebatnya seorang manusia, hakikat manusia asalnya dari tanah dan pada akhirnya kita kembali dalam keadaan mati di dalam tanah. Tanah merupakan sesuatu yang ada di bawah, tanah dianggap simbol kerendahan, tanah identik dengan suatu yang hina. Pesan kehidupan terkandung dalam ayat di atas, tidak ada hak untuk menganggap orang lain rendah, sedang kita sendiri juga bagian dari tanah yang rendah pula. Tidak ada hak untuk sombong atas diri sendiri, sedangkan hakikatnya kita akan kembali ke dalam tanah yang rendah (kubur). Hanya Allah yang maha Esa, tiada kuasa selain kuasa Allah, yang telah menciptakan manusia dan alam semesta. Wa Allahu A’lam Bi Al-Showab.