Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tidak bisa disamakan seluruh laki-laki dan perempuan. Semuanya sedang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Namun, dalam perlombaan ini tidak semestinya menyudutkan atau merendahkan satu sama lain. Semuanya memiliki titik dan bekal yang sama. Fokus tujuan dalam perlombaan ini adalah mencapai derajat taqwa di sisi-Nya.
Yang menarik, di samping tidak diperkenankan mendiskreditkan atau menomorduakan perempuan maupun laki-laki, perlombaan ini bersifat tolong menolong dan saling bahu membahu.Untuk itu, saling menjaga hubungan baik antara laki-laki menjadi sorotan al-Qur’an ketika menceritakan penciptaan manusia. Lebih spesifiknya, supaya menjaga silaturrahmi antara satu sama lainnya. Dalam QS. An-Nisa’ ayat 1, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu samalain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip oleh an-Naisaburi (w. 468 H.) dalam tafsir al-Wasîth, menyebutkan bahwa kata an-nâs ditujukan untuk penduduk Mekah. Sementara itu, Ibnu ‘Âsyûr dalam Tafsir Al-Tahrîrwa Al-Tanwîr menyatakan bahwa objek yang dimaksud dari kata an-nâs, disamping kepada masyarakat pada waktu ayat ini turun juga untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Dengan pandangan yang kedua ini, bahwa perintah dalam ayat ini berlaku untuk seluruh manusia hingga kiamat kelak tiba.
Taqwa adalah poin utama perintah dalam ayat ini. Taqwa dalam ayat ini memiliki relasi pembahasan tentang penciptaan manusia dan perintah bagaimana berhubungan dengan sesamanya, lebih spesifiknya, membangun hubungan baik antara laki-laki dan perempuan.
Ketika menjelaskan proses bagaimana Allah menciptakan Siti Hawa, Mujahid, Qatadah, ‘Ady, dan Ibnu Abbas menyebutkan dengan penjelasan sebagai berikut: Adam tertidur setelah Allah menciptakan Adam dan didiamkan di dalam surga. Pada saat itulah, Allah mengambil tulang rusuk Adam di sisi kiri yang pendek. Ada pendapat yang menyatakan tulang rusuk sebelah kanan. Dari tulang rusuk itulah, Allah menciptakan Hawa. Mereka menyatakan bahwa pandangan ini berdasarkan dengan hadis Nabi.
Pendapat di atas tidak lantas disepakati oleh para pengkaji tafsir. Perbedaan terkait proses penciptaan ini oleh para Ulama masih belum satu paham. Adanya perbedaan ini diakui oleh Ibnu ‘Athiyyah dan Al-Sya’rawi dalam kitab tafsir mereka. Pendapat yang kedua terkait proses penciptaan Hawa adalah bahwa Hawa sama-sama diciptakan dari tanah sebagaimana Adam. Pendapat kedua ini berdasarkan pembacaan secara gramatikal bahasa Arab. Dalam artian, maksud dari kata “minkum” dalam QS. An-Nisa’ di atas adalah “minjinsikum”.
Dalam upaya memahami tafsiran yang kedua ini, Al-Sya’rawi menyambungkan dengan QS. At-Taubah Ayat 128:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri”.
Dengan memahami surat At-Taubah ini, kita bisa dengan mudah memahami kata “minkum” dalam surat An-Nisa’ yang ditafsiri dengan “minjinsikum”. Allah menciptakan seorang rasul (Nabi Muhammad Saw.) dari sesama manusia. Untuk itu, QS.An-Nisa dipahami dengan, Allah menciptakan Adam dan menciptakan Hawa yang sama-sama manusia sebagaimana Adam. Dari keduanya-lah, Allah menciptakan keturunan, baik laki-laki maupun perempuan.
Takwa yang kedua adalah berkenaan dengan perintah untuk saling menyayangi dan mengasihi. Sifat inilah yang semestinya digaris bawahi bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak saling menjatuhkan, mendiskreditkan, namun justru semestinya keduanya saling bahu membahu, saling menghargai satu sama lain untuk bersama-sama dalam berjuang. Begitulah kira-kira implementasi rasa kasih sayang.
Ibnu ‘Athiyyah menyebutkan bahwa makna dari kata “wayatasâalûn” adalah “tata’athafûn” dan “tatasa’alum huqûqahum”. Yang pertama berarti takwalah kalian kepada dzat yang dengan-Nya kalian, laki-laki dan perempuan, saling mengasihi. Sementara yang kedua, saling menanyakan hak-haknya. Mengapa ketika menanyakan hak diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah? Sebab, disamping hak juga bersamaan dengan kewajiban, ketika menanyakan hak harus diingat bahwa Allah telah memuliakan manusia dan mengasihinya, maka jagalah kasih sayang dan kemuliaan Tuhan.
Di samping itu juga, Allah memerintahkan untuk menjaga hubungan baik (arham) antara laki-laki dan perempuan. Banyak hadis yang menyebutkan ancaman bagi orang yang memutus hubungan baik (qath’uar-rahmi) dengan orang lain.
Kesimpulannya, baik laki-laki maupun perempuan, mengingat keduanya adalah sama-sama diciptakan dari unsur yang sama dan mendapatkan tanggung jawab yang sama, hubungan keduanya haruslah berdasarkan kasih sayang. Bukan mendiskreditkan salah satunya. Bukan pula menjatuhkan yang lainnya. Laki-laki maupun perempuan, sebagai manusia, pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi (takâmul). Wallahua’lambish-shawab.