Beragamnya profesi pekerjaan adalah suatu hal yang wajar. Ada yang polisi, guru, arsitek, petani, dan lain sebagainya. Semua itu dibutuhkan agar roda kehidupan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Biasanya, profesi yang ditekuni seseorang berasal dari minat, bakat, dan kecenderungannya terhadap suatu hal.
Satu sama lain pasti tidak sama. Kalaupun sama, kualitasnya pasti berbeda, meski hanya satu dua persen saja.
Sayangnya, ada sebagian orang (salah satunya adalah penulis sendiri, dulu) yang mendaku diri dan menduga bahwa profesi/bakat tertentu dinilai lebih baik daripada profesi/bakat yang lain. Benarkah demikian?
Perintah Tanpa Obyek
Dikutip dari akun Instagram Pesantren Bayt al-Qur’an, pakar tafsir Indonesia, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa semua ilmu itu bernilai Islami. Bahkan menurutnya, perlu diadakan pembagian (tidak semua menekuni satu bidang tertentu, semisal matematika, fikih, dll). Pernyataan ini didasari oleh penafsiran dari ayat: Iqra bismirabbikalladzi Khalaq (QS. al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat di atas menyebutkan perintah untuk membaca, namun tidak ada obyeknya. Ulama menyebut, dalam Al-Qur’an, jika ada perintah namun tidak memiliki obyek, maka obyeknya bisa apa saja. Dalam buku Kaidah Tafsir, ayat di atas oleh Prof. Quraish diartikan “Bacalah apa saja yang dapat dibaca asalkan bacaanmu dengan nama Allah”
(Kalau Anda diundang untuk mengikuti jamuan makan secara prasmanan, maka pasti makanan yang Anda ambil/makan berbeda dengan orang yang diambil/dimakan orang lain. Anda silakan menikmati makanan Anda dan biarkan orang lain juga demikian. Anda tak berhak mengklaim makanan Anda yang paling nikmat).
Oleh karenanya, semua orang bebas mau membaca apa saja. Boleh yang tertulis atau yang tak tertulis. Boleh buku, kondisi sekitar, laut dan pegunungan, dll. Yang jelas, membaca (dengan segala bentuknya) adalah satu-satunya cara untuk menjadi ahli di satu bidang/profesi tertentu.
Belajar Adalah Kunci
Orang yang ingin bisa menguasai suatu bidang tertentu, ia harus belajar tentang hal tersebut. Coding, misalnya. Ia harus belajar, dengan segala macam bentuknya (bertanya, ikut kursus, dlsb). Jika cara itu dilakukan, lama kelamaan, Insyaallah ia akan ahli di bidang tersebut.
Jalan yang demikianlah yang memang harus ditempuh. Tak mungkin ada orang yang menekuni bidang A, namun malah ahli di bidang B. Tak ada ceritanya orang yang menekuni bidang Coding tapi malah ahli di bidang memasak.
Melibatkan Allah
Kebolehan dan kebebasan untuk menekuni bidang apapun, sesuai minat, bakat, dan kecenderungan tersebut, ternyata tidak seratus persen mutlak boleh dan bebas. Allah, lewat ayat Iqra’ membatasi hal itu. Sebagaimana yang penulis bahas di atas, batasannya—mengutip perkataan Prof. Quriash—adalah “asallkan bacaanmu dengan nama Allah” .
Bisa dikatakan, ayat Iqra’ ini memerintahkan kita untuk mengawali setiap kegiatan dengan bacaan basmalah. Namun, tentu, tidak sekadar bacaan, tapi harus dengan kesadaran dan pemaknaan. Menyebut nama Tuhan dalam kegiatan kita berarti melibatkan Dia dalam hal tersebut. Orang yang selalu melibatkanNya, secara otomatis, pasti akan menjadi orang yang baik.
Kebaikan ini, menurut penulis, tercermin dalam tiga hal berikut ini:
Pertama, apa yang dilakukan. Melibatkan Allah pasti akan “memaksa” seseorang melakukan apa yang hanya diperbolehkan olehNya. Tak ada dan tak pantas, Allah dilibatkan dalam perbuatan maksiat. Misalnya, “Bismillah, saya akan mencuri.”
Juga, orang yang melibatkan Allah, pasti tak akan meninggalkan perintahNya (yang wajib). Sehingga, tak pantas, atas nama pekerjaan, seseorang malah meninggalkan, misalnya, salat lima waktu.
Kedua, cara yang ditempuh. Ambillah contoh: mendaftar sebagai anggota Pegawai Negeri Sipi (PNS) dengan tujuan agar ekonomi keluarga semakin mapan. Ini adalah hal baik. Namun tak akan menjadi baik bila dilakukan dengan cara menyuap atau tindakan kotor lainnya.
Ketiga, hasil yang diterima. Setelah berusaha keras dalam satu bidang, seseorang yang melibatkan Allah akan siap menerima apapun hasil yang terjadi. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya. Ini karena ia yakin, keputusan Allah adalah yang terbaik.
Walhasil, perbedaan profesi adalah hal yang patut diapresiasi. Tak ada satu profesi yang lebih istimewa daripada profesi yang lain. Ini karena minat, bakat, dan kecenderungan orang berbeda. Semua orang “boleh” belajar apa saja. Bahkan, Prof. Quraish mewanti-wanti, “Jangan pernah memaksakan siapapun untuk belajar apapun!”