Secara literal, Q.S. al-Ma’idah: 51 ini berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’. Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks hiistorisnya? Dan apa ide moral yang mungkin dikandung oleh ayat tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk memahami Q.S. al-Ma’idah: 51, seseorang harus memperhatikan aspek bahasa, konteks historis dan ide moral yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan aspek bahasa, sebenarnya ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus dianalisa secara cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk membahas semuanya. Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini.
Kata tersebut diterjemahkan oleh sebagian penerjemah di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Hal ini bisa kita lihat, misalnya, di Tafsir al-Azhar, karya HAMKA. Meskipun demikian, apabila kita melihat kitab tafsir-tafsir klasik, maka kita akan mendapati keterangan yang cukup berbeda dengan sebagian terjemahan Indonesia tersebut.
Muhammad ibn Jarir al-Thabari, misalnya, menafsirkan kata awliya’ dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi atau teman-teman dekat) (al-Thabari, Jami‘ al-Bayan 8: 507). Terjemahan yang mendekati dengan penjelasan al-Thabari adalah terjemahan M. Quraish Shihab atas kata tersebut: ‘para wali’ (teman dekat dan penolong) (Q. Shihab, al-Qur’an dan Maknanya, h. 117). Singkat kata, baik al-Thabari maupun Quraish Shihab tidak menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan.
Dari segi konteks historis, para ulama berpendapat bahwa memiliki sababun nuzul (sebab turunnya ayat). Mereka menyebutkan beberapa riwayat yang bervariasi. Sebagian mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa membantu umat Islam dalam peperangan, dan ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul yang masih mempercayai mereka sebagai kawan dalam peperangan. Sebagian riwayat lain menerangkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Abu Lubabah yang diutus Rasulullah Saw kepada Banu Quraizhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya.
Riwayat yang lain lagi merangkan bahwa ayat tersebut terkait dengan kekhawatiran umat Islam menjelang terjadinya perang Uhud (pada tahun kedua Hijriyah); karena itu, sebagian dari mereka mencoba meminta bantuan teman-teman Yahudi, dan sebagian yang lain ingin meminta bantuan kepada kaum Nasrani di Madinah; ayat tersebut turun untuk menasehati umat Islam saat itu agar tidak meminta bantuan kepada mereka.
Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbawahi bahwa ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, dimana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat itu bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan.
Melihat hal-hal tersebut di atas, ide moral atau pesan utama dari ayat itu adalah, paling tidak, sebagai berikut. Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan teman yang suka berkhiyanat. Perilaku adil kepada semua orang harus ditegakkan dan kezaliman/ketidakadilan harus ditinggalkan.
Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian/kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhiyanati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan trust (kepercayaan) dari kelompok yang dikhiyanati, sebagaimana kehilangan trust umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang menyalahi The Medinan Charter (Piagam Madinah) yang salah satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah.
Ketiga, ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan agama dan suku. []
Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA. Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT).
Link tulisan asli Penafsiran Kontekstualis Atas Q.S. al-Ma’idah: 51 di situs resmi UIN Sunan Kalijaga.