Saat kita belajar dengan membaca terjemahan Al-Quran, kadang terlintas di benak kita bahwa yang sedang kita pelajari adalah isi dan pesan dari Al-Quran itu sendiri. Padahal kita tahu bahwa terjemah Al-Quran bukan Al-Quran itu sendiri, karena dibuat oleh manusia, yang secara logika tidak akan mampu menjangkau semua hal yang sebenarnya terkandung dalam Al-Quran.
Hingga beberapa waktu lalu muncul perselisihan pendapat terkait terjemah Al-Quran surat al-Maidah ayat 51. Bagi yang setuju dengan kata “auliya'” yang diartikan sebagai pemimpin dalam terjemah Al-Quran bahasa Indonesia periode awal akan menganggap bahwa telah terjadi penistaan yang dilakukan oleh seorang tokoh kontroversial dan mereka mengklaim akan membela terjemah Al-Quran tersebut.
Padahal dalam terjemah Al-Quran terbaru, kata “auliya” sudah tidak lagi diterjemahkan dengan pemimpin. Bagi orang yang tidak mengetahui dinamika penerjemahan Al-Quran, akan menganggap bahwa Terjemah Al-Quran bahasa Indonesia terbaru sudah dipalsukan agar non-muslim bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin, atau dalam bahasa yang provokatif mereka sebut: untuk menghancurkan umat Islam. Subhanallah.
Menyikapi hal ini, Quraish Shihab telah menekankan melalui pengantar Tafsir al-Misbah, bahwa sehebat apapun orang yang menerjemahkan Al-Quran atau menafsirkan Al-Quran maka itu semua tidak akan menjangkau semua kebenaran mutlak yang diinginkan Allah SWT. Dalam Tafsir al-Misbah juga disebutkan bahwa Quraish Shihab meminta karyanya tersebut tidak dianggap sebagai terjemah Al-Quran atau bahkan Al-Quran itu sendiri. Menurutnya, terjemah Al-Quran bukan Al-Quran.
“Perlu juga ditegaskan bahwa kalimat-kalimat yang tersusun dalam buku ini, yang sepintas terlihat seperti terjemah Al-Quran, hendaknya jangan dianggap sebagai terjemah Al-Quran, apalagi Al-Quran. Betapapun telitinya seorang penerjemah, apa yang diterjemahkannya dari Al-Quran bukan Al-Quran,” tulis Quraish Shihab dalam pengatar Tafsir al-Misbah.
Menurutnya, lebih baik menganggap bahwa karya terjemah Al-Quran sebagai terjemah makna-makna Al-Quran.
“Apa yang sering kali dinamai “Terjemahan Al-Quran” atau “Al-Quran dan terjemahnya” harus dipahami dalam arti terjemahan makna-maknanya,” lanjutnya.
Quraish Shihab mencontohkan ketika orang Indonesia menerjemahkan kalimat “Aqimis shalat” dengan terjemah “dirikanlah shalat”. Terjemah tersebut dianggap tidak tepat karena kata aqim bukan diambil dari kata qama, yang artinya berdiri, melainkan diambil dari kata qawama yang berarti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan.”
Dalam kasus lain misalnya, Al-Quran lebih sering menggunakan kata ijaz (kalimat yang singkat dan padat) dari pada ithnab (memperpanjang kalimat). Karena menggunakan ijaz, sering kali membutuhkan penyisipan-penyisipan. Al-Quran juga sering menggunakan kata iḥtibak, yaitu menghapus suatu kata atau kalimat karena sudah ada kata atau kalimat lain dalam redaksi yang menunjukkan hal tersebut.
Tafsir al-Misbah mencontohkan pada surat Yunus ayat 67:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ – ٦٧
Quraish Shihab menerjemahkan dengan: “Dialah yang menjadikan malam bagimu gelap supaya kamu beristirahat padanya dan menjadikan siang terang benderang supaya kamu mencari karunia Allah. Sungguh, yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Q. S Yunus: 67)
Terjemah Al-Quran di atas berbeda dengan Terjemah Al-Quran Kemenag versi terbaru 2019 yang tidak menambahkan kata “gelap” dan “supaya kamu mencari karunia Allah.”
Alasan Quraish Shihab menambahkan kata “gelap” walaupun tidak tercantum dalam redaksi ayat di atas karena pada penggalan berikutnya sudah dijelaskan “terang benderang” (mubshira). Sedangkan penambahan “supaya kamu mencari karunia Allah”, karena lawannya sudah disebutkan dalam redaksi sebelumnya, yaitu “supaya kamu beristirahat” (li taskunu fihi).
Dari dua versi terjemahan Al-Quran di atas, yaitu terjemah ala Quraish Shihab dan Kemenag saja sudah terdapat perbedaan. Maka dari itu penting difahami bahwa kita tidak bisa mengklaim bahwa satu terjemahan sudah mewakili semua maksud Allah.
Baca juga: Kumpulan artikel tentang tafsir al-Misbah
Sungguh benar penjelasan penulis Tafsir al-Misbah ini bahwa kita tidak boleh menganggap sebuah terjemahan sebagai terjemahan Al-Quran atau Al-Quran itu sendiri, karena terjemah Al-Quran bukanlah Al-Quran. Membaca terjemahan Al-Quran harusnya kita anggap sebagai membaca terjemahan makna Al-Quran.
Hal ini menjadi prinsip dasar agar kita tidak mudah fanatik dengan tafsir dan terjemahan tertentu, juga tidak merasa paling benar dengan terjemahan dan pemahaman kita sendiri atas ayat Al-Quran. (AN)
Wallahu a’lam.
Penjelasan selanjutnya bisa dibaca dalam Tafsir al-Misbah versi cetak tahun 2017