Pada mulanya waktu tak bernama. Anonim. Konsep detik dan hari tak dikenal pada zaman purba.
Akhir pekan, hari libur dan tahun baru tak dikenal pada masa manusia berhuni di ceruk goa dan berbusana kulit pohon atau dedaunan.
Perubahan alam yang berulang menjadi tanda dan pedoman masa pada zaman dahulu kala misalnya fenomena terang dan gelap serta putaran musim dan perubahan cuaca.
Kesadaran waktu manusia saat ini berbeda dengan kesadaran waktu manusia zaman silam.
Waktu kini telah tercacah -cacah dan bernama. Jam, bulan dan milenial adalah produk kesadaran manusia setelah berlalunya era arkaik.
Kesadaran waktu adalah perhatian atas perubahan. Matahari terbit dan terbenam, pohon berbunga lalu berbuah atau manusia lahir, bertumbuh dan kemudian mati. Semua fenomena ini menimbulkan kesadaran waktu.
Ritus agama amat lekat kepada waktu. Sebelum ada almanak dan jam, penanda waktu-waktu shalat wajib hanya berpedoman kepada posisi matahari. Sedangkan Ramadhan dan Idul Fitri ditentukan berdasarkan fenomena edaran rembulan.
Dalam al-Quran tercetus sumpah ilahiah: “demi waktu”. Sumpah ini menegaskan kerugian manusia lantaran tak mengisi waktunya dengan amal saleh.
Keilahian waktu saat ini bertarung dengan prinsip time is money. Hitungan detik dan jam akan dipandang bermakna tatkala menghasilkan keuntungan finansial atau material.
Waktu produktif adalah jam kerja dan lembur. Waktu-waktu lain adalah rehat dan kesenangan. Akibatnya manusia menjadi budak waktu yang profan dan mekanis seperti laju angka di mesin argo taksi.
“Waktu adalah uang” merupakan sejenis materialisme yang membuat waktu kehilangan dimensi esensialnya sebagai kesempatan mewujudkan amal saleh.
Momen rutin perayaan tahun baru misalnya terjebak kepada pergantian angka tahun. Bunyi terompet dan mercon menandainya seperti mengetuk dan memasuki rumah waktu yang baru angka tahunnya.
Imajinasi terhadap waktu kehilangan kepekaan dimensi ilahiahnya. Waktu hanya seperti gerak angka countdown di lampu merah. Waktu identik dengan tanggal muda dan tanggal tua atau jam masuk kantor dan jam keluar kantor.
Keilahiahan waktu, jika pun ada, hanya jeda pendek, formil dan terhimpit. Akibatnya jam kerja menimbulkan stres dan hari libur menciptakan kemalasan atau pemborosan.
Waktu adalah anugerah. Berlalunya waktu tanpa kesadaran esensial dan teologis akan membuat manusia terasing atau tertekan dalam hidupnya.
Waktu berubah menjadi kutukan. Manusia menjadi budak waktu. Manusia berlari-lari atau terkapar karena letih di zaman ini. Kelembutan dan kekhusyukan menempuh waktu kian pupus.
Setelah raung terompet dan letusan mercon perayaan tahun baru, waktu akan segera senyap sesaat dan kemudian bergerak kembali sebagai kutukan yang memperbudak manusia.
Kesadaran waktu ilahiah tak sebatas bersembahyang atau berzikir siang dan malam. Kesadaran ini bisa terwujud saat manusia menjalani waktu atas dasar kemanfaatan dan keluhuran, jujur, tidak terperangkap ketamakan, adil dan jauh dari sikap berlebihan.
Manusia tak bisa selalu menang menghadapi waktu. Namun jangan sampai manusia melulu menjadi pecundang atau budak waktu. Jalan terbaik meraihnya adalah manusia bekerja sama dengan waktu atau menjadikan waktu sebagai teman yang saleh, bukan musuh.
*) Binhad Nurrohmat, penyair, tinggal di Jombang